Bimo terkejut. Hatinya bergemuruh, seperti ombak yang menghantam karang. Tawaran itu adalah mimpi yang selama ini ia pendam---kesempatan untuk melihat dunia luar, belajar lebih banyak, dan mungkin kembali ke desanya dengan pengetahuan yang bisa memajukan Desa Harapan lebih jauh lagi.
Namun, di sisi lain, Bimo tahu bahwa jika ia pergi, tidak akan ada yang melanjutkan proyek kincir airnya, tidak ada yang mengajarkan teknologi kepada warga desa, dan mungkin, tidak ada yang akan menggantikan semangat yang telah ia bawa ke desa itu. Desa Harapan, yang baru saja mulai bersinar, bisa kembali gelap tanpa kehadirannya.
Bimo duduk termenung di tepi sungai, merenungkan keputusannya. "Jika aku pergi, desa ini akan kehilangan harapannya," gumamnya. "Tapi jika aku tinggal, aku mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan ini lagi."
Pak Rahmat, yang melihat anaknya dilanda kebingungan, duduk di sampingnya. "Nak, hidup ini penuh dengan pilihan. Kadang kita harus melepaskan sesuatu untuk mendapatkan yang lain. Tapi ingat, apapun keputusanmu, lakukan dengan sepenuh hati."
Bimo menatap ayahnya, hatinya terasa seperti dipecah menjadi dua. Tapi kemudian ia ingat, harapan itu bisa datang dari mana saja, bahkan dari seorang anak desa yang pernah bermimpi tentang teknologi. Dengan hati yang bulat, Bimo memutuskan untuk menerima beasiswa itu.
Ia meninggalkan Desa Harapan dengan janji kepada dirinya sendiri: suatu hari nanti, ia akan kembali. Kembali dengan lebih banyak ilmu, lebih banyak pengalaman, dan lebih banyak cahaya yang bisa ia bawa ke desa yang dicintainya.
Desa Harapan, meskipun ditinggal oleh Bimo, tetap menjaga api semangat yang telah dinyalakan olehnya. Warga desa terus mengembangkan teknologi sederhana yang telah diajarkan Bimo, dan mereka menunggu hari di mana anak kebanggaan mereka akan kembali membawa lebih banyak harapan.
Dan Bimo, di kota yang gemerlap, tak pernah melupakan desanya. Ia belajar dengan giat, menimba ilmu seperti sumur yang tak pernah kering, sambil memupuk harapan di hatinya. Harapan untuk kembali, dan untuk membawa lebih banyak cahaya ke tengah hutan yang pernah membesarkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H