Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, bernama Desa Harapan, hiduplah seorang anak bernama Bimo. Bimo adalah bunga desa, anak tunggal Pak Rahmat, seorang petani sederhana yang berjuang dari fajar hingga senja. Desa Harapan seolah-olah terputus dari arus zaman; tak ada sinyal yang menari di udara, tak ada jejak teknologi canggih. Kehidupan di sana berjalan seperti waktu yang enggan bergerak maju.
Sejak kecil, Bimo sering memandang jauh ke arah batas hutan, seolah-olah ada dunia lain yang memanggilnya dari balik pepohonan. Cerita-cerita yang ia dengar dari Pak Lurah tentang gemerlap kota dan kehidupan serba modern ibarat angin yang berhembus membawa harapan baru ke dalam hatinya. "Bagaimana rasanya hidup di kota?" pikirnya sambil memandangi hutan yang membungkus desanya dengan rapat.
Suatu hari, sepulang sekolah, Bimo menemukan ayahnya sedang berjuang melawan waktu untuk memperbaiki radio tua yang sudah lama tak bersuara. Radio itu adalah nyawa bagi warga desa, yang selama ini menjadi jendela mereka untuk mengintip dunia luar.
"Ayah, kenapa nggak beli radio baru saja?" canda Bimo sambil tersenyum tipis.
Pak Rahmat tertawa kecil, suara tawanya serupa gemericik air di tengah sunyi. "Nak, untuk beli beras saja kadang masih kurang, apalagi untuk beli radio baru."
Bimo terdiam, hatinya seperti digelayuti awan mendung. Namun, semangatnya tak mudah padam. Malam itu, di bawah sinar lampu minyak yang redup, ia termenung memikirkan masa depan desanya. "Aku harus melakukan sesuatu," tekadnya bergejolak.
Keesokan harinya, Bimo berlari menuju rumah Pak Lurah dengan langkah secepat kilat. Ia tahu Pak Lurah sering menerima surat dari anaknya yang kuliah di kota, dan ia ingin tahu lebih banyak tentang dunia di luar desanya. Sesampainya di rumah Pak Lurah, matanya tertumbuk pada sebuah benda asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
"Apa itu, Pak Lurah?" tanya Bimo dengan rasa penasaran yang menyala-nyala.
"Oh, ini namanya laptop, Bimo. Anak saya kirim dari kota. Dengan alat ini, saya bisa tahu banyak hal dari seluruh dunia," jawab Pak Lurah, dengan nada bangga yang menguar seperti aroma kopi pagi.
Bimo terpana, matanya berbinar-binar bak bintang pagi. Ia mendekat, memperhatikan laptop itu dengan takjub, seakan-akan ia sedang memandangi harta karun. Pak Lurah menjelaskan berbagai hal tentang laptop, meskipun banyak istilah yang melayang begitu saja di kepala Bimo tanpa meninggalkan jejak.