Mohon tunggu...
Darwin Raja Unggul Munthe
Darwin Raja Unggul Munthe Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Berpikir seperti orang bodoh sehingga giat untuk selalu belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia "Melawan" Indonesia

6 Januari 2017   16:53 Diperbarui: 6 Januari 2017   17:29 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semangat! Sikat! Lawan! Kalahkan! Kata-kata motivasi memang sangat penting untuk menyemangati tim dalam berlaga. Semangat positif akan mendorong dampak positif di arena pertandingan, terlepas akan hasil pertandingan itu; kalah atau menang. Dan yang tak kalah penting dalam bertanding, setiap individu harus memiliki semangat laskar, mental juang yang kuat, sikap pantang menyerah, bermain jujur dalam bertanding.

Lantas, bagaimana jika hendak melawan diri sendiri?

Euforia Timnas Indonesia pada pertandingan Piala AFF 2016 hampir menyedot seluruh perhatian kita, mendukung dengan memberikan kata semangat dan bahkan mendoakan. Harapan, agar Timnas mendapatkan juara. Predikat juara kita mimpikan dan gemakan.

Pertandingan diatas, kita jelas bertanding dengan tim siapa. Dan kalau pun menang kita jelas akan merasakan seperti apa. Indonesia melawan Thailand dalam sepak bola, jelas, Thailand adalah “musuh” kita yang harus kita lawan/kalahkan dalam pertandingan ini. Timnas harus “berperang” memperebutkan juara Piala AFF 2016. Tampak jelas, kita melawan siapa, bukan melawan diri sindiri.

Lantas, bagaiamana fenomena sosial terjadi saat ini di negara kita?

Mencintai Republik vs Golongan.

Bumi Indonesia adalah untuk semua golongan yang ada di Indonesia, tanpa kecuali selama memiliki KTP yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Tak ada hak satu golongan tertentu untuk mengatur tatanan kenegaraan yang akan “menguntung” golongan tertentu, apapun alasannya, hak bersama itulah dasarnya.

Akar muasa fenomena sosial yang terjadi saat ini mungkin bersumber dari stigma kaum minoritas & mayoritas yang sudah lama mengental di dalam darah bangsa Indonesia. Stigma ini kemudian berkembangan membentuk masing-masing golongan. Setiap golongan semakin “sibuk” memperjuangkan kepentingan agar lebih mendapatkan aktualisasi “kuat” dalam negara ini. Hak kebersamaan pun dilanggar.

Sentimen golongan mewabah, upaya-upaya kebencian saling menjangkiti antar golongan meningkat. Kekentalan sentimen golongan mengalahkan arti darah para pejuang republik ini. Kekuatan republik berusaha dilemahkan oleh kekuatan golongan. Golongan memperkuat diri untuk menguasai republik. Mencintai republik semakin luntur, mencintai golongon semakin dirindu. Stigma minoritas dan mayoritas layak direnungkan apakah masih sesuai dengan semangat republik ini.

Menerima vs Menolak Pancasila.

Pancasila adalah jantung dari NKRI. Kita bayangkan jika sendi-sendi nadi NKRI ini dirusak/diganggu, apakah jantung negara ini akan sehat? Pancasila adalah hasil cucuran darah panjang para pejuang dan pendiri negara ini. Semau kitakah menolaknya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun