Darwin Malakuin
Alumnus Universitas Nusa Cendana Kupang
Situasi dunia sedang tidak baik-baik saja, bahkan boleh dibilang memprihatinkan. Wabah Corona Virus yang disebut COVID-19 seolah-olah mengancam keberlangsungan hidup setiap manusia. Tidak kenal jabatan dan jumlah harta. Mulai dari rakyat jelata hingga konglomerat kaya pemilik perusahan sawit. Dari begal, preman, maniak seks, lurah hingga pejabat negara. Dari maling ayam hingga maling uang rakyat. Semua panik, mencekam dan waspada.
Imbauan pemerintah untuk tidak kemana-mana dan bekerja dari rumah digaungkan bahkan hingga ke pelosok dusun yang belum dialiri listrik. Work from home atau disingkat WFH, istilah yang saya dengar dari corong toa seorang pejabat beberapa waktu lalu. Seorang bapak yang sedang mencari pakan babi pun terlihat melongo, entah ia berdecak kagum dengan istilah bahasa asing itu atau bingung tidak memahami maksud perkataan sang pejabat.
Ditengah kepanikan akan wabah tersebut, kami rakyat salah satu daerah di NTT, kabupaten Manggarai Timur, juga punya kesibukan dan "keramaian" tersendiri. Hari-hari kami di media sosial ramai dengan salah satu persoalan yang tidak kalah menarik, polemik rencana penggalian tambang dan pendirian pabrik semen di Luwuk dan Lengko Lolok, Kabupaten Manggarai Timur. Perang opini berbau intelektual pun kian ramai, sebanding dengan perang caci maki dan hujatan kaum pro dan kontra.
Bahkan sampai ada anggota DPRD yang geram dengan semua kritikan yang diterimanya. Sang anggota dewan pun sampai mengancam pengkritiknya akan dipatahkan tulang lehernya. Konon, kata sang dewan, ia pernah hidup di jalanan di Jakarta, mau bilang bahwa ia  tukang kelahi yang handal. Lucu juga, ada anggota dewan yang suka tarung otot, yang harusnya otak. Disitu saya berpikir, betapa cerdasnya masyarakat masa kini. Mampu mengkritik dan berdebat adalah tanda sehat nalar. Kok bisa yah, masih ada bupati atau kepala desa yang berani membodohi rakyatnya?
Setelah "lalu lalang" melihat dan membaca perdebatan tersebut, saya sampai pada pertanyaan bernada satire: "Untuk apa disebut pemimpin jika tak lagi sanggup memimpin?". Pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab atau tepatnya tidak membutuhkan jawaban. Mungkin yang dapat dilakukan hanyalah mengambil kesimpulan dalam diam (silent conclusion), merenungi makna dibalik pertanyaan tersebut, "mengapa pertanyaan itu ada?".
Pertanyaan tersebut saya rangkai atas nama kegelisahan saya beberapa hari terakhir, melihat dan membaca suara-suara minor yakni suara-suara rakyat kecil di media sosial terkait polemik diatas. Ada sebuah fakta menarik bahwa setiap kritikan dari pihak-pihak yang kontra terhadap rencana pendirian pabrik semen tersebut, selalu diminta solusi konkritnya atas semua permasalahan yang ada di kabupaten Manggarai Timur. Mahasiswa yang bersuara kritis akan polemik itu dicaci dan diminta solusinya mengatasi berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang ada di daerah. Ada yang  mengatakan "pencari nasi kotak", sangat kejam dan keji.
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti kegiatan diskusi daring yang diinisiasi oleh Generasi Muda Manggarai. Pembicaranya adalah intelektual yang hadir dari berbagai latar belakang pendidikan. Tema diskusi saat itu seputar polemik tambang dan pabrik semen Matim. Menarik, ada sebuah kritikan (tepatnya pertanyaan) dari peserta yang kebetulan mendukung rencana kebijakan pemda Matim tersebut, terhadap pihak-pihak yang kontra.Â
Kira-kira begini bunyinya: "untuk kalian mahasiswa dan pihak-pihak pengkritik kebijakan pemda Matim ini, dimana kalian selama ini? Dimana dan apa solusi kalian terhadap kemiskinan di Matim? Kenapa baru hadir sekarang?Apa solusi kalian jika pabrik semen ini gagal?"
Rentetan pertanyaan tersebut, dalam persepsi saya adalah hal yang sangat miris dan memprihatinkan. Mengapa? Bahwa seolah-olah semua permasalahan yang ada di Manggarai Timur seperti kemiskinan, infrastruktur yang buruk, kesenjangan ekonomi dan lain sebagainya akan diselesaikan dengan adanya tambang dan pabrik semen.Â
Saya tidak mempersoalkan suara-suara dari mereka yang pro terhadap kebijakan pemerintah daerah ini. Yang patut disayangkan dan disalahkan adalah pemerintahnya, karena yang jelas suara-suara itu hadir karena rakyat tidak melihat solusi lain yang dilakukan oleh pemerintah.
Itu artinya pemerintah telah gagal dan miskin solusi atas persoalan yang ada, alhasil rakyat yang mengidamkan kemajuan meminta solusi dari pihak-pihak yang mengkritik. Itu adalah akar dari semua perdebatan dan perang opini serta caci maki di kalangan masyarakat pro-kontra. Pengetahuan rakyat akan solusi persoalan di daerah sangat kurang.Â
Defenisi kemajuan dan kesejahteraan telah digerus oleh "kegagalan" pemerintah dalam mengedukasi masyarakat. RPJMD dan dongeng kampanye "Matim Seber" tidak lebih dari narasi pembodohan massal belaka, minim aplikasi di lapangan.
Kesimpulannya adalah pemerintah daerah kabupaten Manggarai Timur telah gagal memimpin dan karenanya tidak layak disebut pemimpin. Di Jepang, seorang pejabat pemerintah yang gagal menjalankan tugasnya mengundurkan diri, karena itu artinya harkat dan martabatnya telah diinjak. Well, saya tentu tidak menyarankan itu untuk pemda Matim. Karena sejatinya pemimpin itu adalah menanamkan kesadaran  dan pengetahuan kepada rakyatnya untuk mengatakan "saya memiliki pemimpin, itulah yang membuat saya hidup dan sejahtera".
Suara-suara diatas tentu menjadi catatan bagi pemda Matim dalam menentukan bahkan memikirkan ulang kebijakannya. Generasi yang sekarang memang mungkin akan sejahtera dengan uang ratusan juta dari investor. Di saat bersamaan, kita sedang memperbudak anak dan cucu kita di tanah kita sendiri.
Terakhir, saya merasa perlu berterima kasih kepada pendiri Facebook, Mark Zukerberg, karena platform buatannya suara-suara minor itu bisa didengar. Tanpa platform itu juga, saya tidak akan pernah tahu jalan yang kian parah disalah satu desa di kabupaten Manggarai Timur, konon katanya kuda pun oleng melewati jalan itu. Tanpa platform itu juga, saya tidak akan tahu kisah seorang dosen di salah satu kampus di Kupang yang chatingan mesum dengan salah seorang mahasiswinya. Saya yakin, masa depan mahasiswi tersebut sedang dipertaruhkan. Yahh, kita semua tahu birokrasi dan hegemoni kampus di NTT.
Jaga Congka Sae, tanah mbate dise ame, tanah ledong dise empo. Tidak dengan tambang!!
Darwin Malakuin
Penulis adalah Alumnus Universitas Nusa Cendana Kupang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H