Tulisan AT mengingatkan saya pada tokoh dalam cerita rakyat Manggarai, “Pondik”. Tokoh “Pondik” adalah simbol kelicikan dan kepiawaian dalam memperdayai lawan. Ia adalah gambaran tentang karakter yang egois, tamak dan berwatak maling. Tetapi, dibalik keegoisan, kelicikan dan ketamakannya tersebut, Pondik sangatlah cerdas. Ia begitu lihai dalam memainkan peran, untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Gambaran tokoh “Pondik tersebut, persis seperti yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh politik dan orang-orang di era Soeharto. Apapun dilakukan demi mendapatkan promosi jabatan dan uang. Tak peduli dengan apakah itu cara-cara kotor dan busuk, yang paling penting adalah menyenangkan “sang bos”. Istilahnya ABS, “Asal Bapak Senang”.
Tulisan-tulisan berbau intelektual tetapi penuh kebohongan pun memenuhi kolom media massa bayaran pemerintah. Taktik licik itu dipermainkan, tak peduli dengan nasib dan masa depan rakyat dan kepentingan bangsa. Yang pasti tujuan utamanya adalah kepentingan pribadi, uang dan promosi jabatan. Moral dan idealisme personal diperbudak dan diperjualbelikan.
Fenomena menjilat penguasa adalah hal yang biasa dan umum dilakukan oleh cukong-cukong politik pada era Orde Baru. Sebagai catatan kaki, elit-elit era Orba tersebut adalah tokoh-tokoh idealisme di era Soekarno. Mereka adalah tokoh-tokoh intelektual dan cerdas yang kerap mengkritisi kebijakan Soekarno yang kerap kali menyalahgunakan wewenangnya untuk mempertahankan posisinya yang kian goyah. Alhasil, demo besar-besaran pun tak terhindarkan.
Hal yang mirip (atau sama persis?) ditemukan dalam karya AT. Ia menjilat ludahnya sendiri dengan memuja sang penguasa. Rekam jejak digitalnya adalah bukti tak terbantahkan. Memang benar bahwa cara berpikir itu harus adaptatif untuk dapat menyesuaikan diri dan dapat bertahan. Tapi konsep itu tidak berlaku pada narasi intelektual. Memang benar pula bahwa dalam negara demokrasi kebebasan berpendapat adalah “tuhan”nya, dan dengan sendirinya kita berhak mendukung suatu kebijakan, memuji atau bahkan menjilat pada pemerintah. Tapi sekali lagi, tidak pada konteks seperti karya AT. Itu adalah penghinaan yang besar pada intelektual-intelektual muda. Itulah poin penting pada gaungnya narasi “pendidikan karakter”.
Selain itu, dalam narasi “yang dituduhkan” dalam tulisan AT, hanya sebatas pada opini belaka. Walaupun kerap kali meminjam istilah para ahli dalam tulisannya, tetapi tuduhan tersebut tidak lebih dari racun intelektual tanpa data yang konkrit.
Seharusnya, jika memang AT tidak sedang “menjilat” melalui tulisannya, maka data adalah hal mutlak yang harus diberikan. Karena ia sedang bertindak dan berbicara “atas nama pemerintah”. Tunjukkan mana pihak-pihak yang sedang “mencari makan siang”, seperti tuduhan AT. Ataukah yang bersangkutan juga sedang mencari makan siang? Kembali ke mental “ABS”, apakah sang penulis juga sedang menyenangkan “sang bapak” dan mencari privilese?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H