Mohon tunggu...
darwinarya
darwinarya Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer Specialized Hotels and Resorts

Travel Enthusiast. Hospitality Photography Junkie

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

"Cinderamata" dari Barat

3 Juli 2023   17:22 Diperbarui: 5 Juli 2023   01:43 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Henlooo Kapal Tetangga / Photograph by darwinarya

Perjalanan melahirkan cerita. Rute ini bukan yang pertama. Berulang kali. Yang sudah-sudah sekadar 'numpang lewat'. Kini ku berniat singgah. Meski singkat, namun tinggalkan jejak memori yang berkesan. Setitik kisah; 'Cinderamata' dari Barat.

Garis pemisah bumi-langit kian jelas terlihat. Pendar cahaya merah pekat hiasi cakrawala ufuk timur. Kicau burung-burung dari balik pepohonan terdengar meriah. Serupa unjuk kebolehan dalam olah vokal. Bersahutan lantang satu dengan yang lain. Ada pula burung layang-layang terbang membelah udara. Melesat lincah di angkasa berkecepatan tinggi. Abaikan hawa dingin-sejuk yang bergelayut manja.

Kawanan burung di salah satu pohon seketika waspada. Seorang pemuda mendekat. Berdiri tepat di bawah mereka. Tangan kanannya tampak memegang sesuatu. Disangkanya senjata. Beberapa waktu lewat, nyatanya tidak terjadi apa-apa. Lelaki itu bukan ancaman.

Bali Utara / Photograph by darwinarya
Bali Utara / Photograph by darwinarya

Pria itu kepincut munculnya sang fajar pada sebentang lahan luas. Jatuh hati pada pandangan pertama. Berpetak-petak sawah, disusul baris pepohonan rimbun rapat, dibentengi pegunungan menjulang megah nan gagah. Rupanya kabut tak ingin ketinggalan. Turut hadir menyertai. Tercipta lah nuansa kontur-kontur garis dramatis.

"Gila!" pekik pemuda itu pada diri sendiri. Sekuat tenaga kendalikan gejolak adrenaline yang membuncah. Kamera terpegang di tangan kanan Ia nyalakan, ukur intesitas cahaya dan tertangkap lah lanskap elok itu. Menjadikannya abadi.

Pergi Untuk Kembali

Senang rasanya kembali ke sini. Nikmati suasana penyebrangan Gilimanuk - Ketapang. Segala aktivitas yang berlangsung di sana, sungguh menarik perhatian. Aku suka saksikan orang kerja bersungguh-sungguh. Energinya beda. Seperti gestur petugas saling koordinasi, kesibukan sana-sini, hiruk-pikuk pengaturan parkir di lambung kapal. Oh satu lagi! Sensasi limbung sesaat setelah dari darat ke 'lidah' kapal yang mengikuti irama permukaan air. Itu semua ... ngangenin!

Pura di Ujung Bali / Photograph by darwinarya
Pura di Ujung Bali / Photograph by darwinarya

Regulasi baru telah diberlakukan. Pembayaran tiket tak lagi di gate, online di kios-kios yang tersebar di luar kawasan pelabuhan. Nama, nomor telepon, nopol kendaraan dimasukkan ke sistem dan keluar lah struk kertas ber-barcode. Kena Rp. 38.000,- sekali jalan, satu motor, satu orang. Di gate, bukti pembayaran itu di scan lalu ditukar serupa boarding pass.

"Ojok mepet-mepet, Mas, wedhi ambruk" (jangan mepet-mepet, Mas, takut rubuh), kata Bapak di sebelahku. Kami berdua sedang memarkirkan motor masing-masing. Bapak itu mengajak serta istri dan kedua putrinya yang masih mungil. Bawaan motornya bejibun. Menyalahi kodrat sepeda motor yang sewajarnya. Buritan dikasih sepasang kayu memanjang ke belakang sebagai dudukan koper dan dus-dus. Tambah lagi dus pada bagian tengah motor. Serba heboh. Pemudik yang berangkat setelah Hari Raya lewat.

"Inggih Pak" timpalku tanpa protes. Justru pikiranku sendiri yang bergulat seru. "Wih ... Motor di-standar dua bisa ambruk? Terombang-ambing macam apa pula yang bakal terjadi? Ombaknya pasti ganas betul!". Mendadak ngeri-waspada aku membayangkannya. Dewa Poseidon lagi ada gawe di Selat Bali apa ya? Tapi kalau dilihat, cuacanya sih bagus. Tanpa perintah, memoriku terpanggil. Teringat pengalaman sekian tahun lalu. Terbang-terbang di atas laut. Terbang-terbang di atas laut! Memang di design seperti itu. Keempat mesinnya punya daya dorong besar. Fast boat, bukan ferry.

Terompet 'sangkakala' buatan manusia --aku menjulukinya demikian-- berteriak lantang selantang-lantangnya. Dari lantai yang ku pijak, terasa getaran yang teredam baik. Rangkaian piston-piston mesin kapal 'dibangkitkan' dari tidurnya. Air laut sisi kapal, yang berdempetan dengan beton dermaga, tadinya biru tenang, berubah putih bergejolak. Kapal berangkat. Bermanuver perlahan diantara kapal-kapal lain. Lepas dari lalu-lintas pelabuhan, Kapten Kapal 'memecut sangar' mesin-mesin itu dengan menaikkan putaran baling-baling hingga capai kecepatan yang ditentukan.

Penumpang tak begitu banyak kala itu. Waktunya istirahat. Yang mana ku tau, seluruh armada kapal beserta pemangku otoritas pelabuhan dari tingkat A sampai Z, dihajar mati-matian 24/7 non-stop beberapa pekan lalu. Musim libur Hari Raya Idul Fitri. Sekarang bisa lah mereka tarik napas lega. Bersantai dulu barang sejenak.

Permukaan Laut yang Tenang di Selat Bali / Photograph by darwinarya
Permukaan Laut yang Tenang di Selat Bali / Photograph by darwinarya

Aku melenggang nyaman. Ku jelajahi area kapal dengan merdeka. Mencari sesuatu yang menarik mataku. Sambil sesekali duduk, menegak kopi susu dari termos yang ku bawa. Kopi ini habis? Selesai lah aku. Sumber tenaga ku dari situ. Bukan sembarang kopi. Kelewat spesifik. 

Di Indonesia, sejauh ini, hanya ada 2 jenis yang cocok di badanku. Satu Bali, satu lagi Manado. Seteguk aja udah langsung melek dari ujung rambut ke ujung kaki. Macam Popeye makan sayur bayam. Mungkin ada yang sentimentil dengan ini. Menyerukan protes. Brand kopi ijo-ijo itu Mas? Yang harganya nyaris tembus ratusan ribu segelasnya? LEWAT! Berasa air doang. Trus yang dari daerah-daerah lain Mas? Tetep ngga ngangkat buat tuntutan badanku. Kalau kopi sachet Mas? Tolong lah ... Itu sirup, bukan kopi.

"Foto-foto buat apa Mas?" kalimat itu membuyarkan konsentrasiku. Seorang Bapak tertarik melihat tingkahku yang mungkin paling beda dari penumpang lain. Usianya mendekati senja. Rambut dan kumisnya memutih.

"Lagi belajar moto, Pak ... Hihihi" jawabku seadanya. Senyum polos dengan muka tanpa dosa. Meminimalisir pertanyaan lanjutan.

Reaksi Bapak ini, nyatanya di luar perkiraan. Mungkin ribuan jam terbang, dari banyak kota-kota Indonesia yang pernah ku jelajahi, baru kali ini aku bertemu spontanitas macam itu. "Bhaaaghuuuuusss ...!", kata Si Bapak. Seraya sodorkan kedua jempol tangan kanan-kirinya. Umbar senyum menyemangati. Pancaran matanya bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya.

"Matur nuwuuuun, Bapak"

Henlooo Kapal Tetangga / Photograph by darwinarya
Henlooo Kapal Tetangga / Photograph by darwinarya

Selat Bali dilayari sejumlah kapal. Dari jarak yang memisahkan, masih bisa ku lihat siluet-siluet penumpang dari kapal 'tetangga'. Mereka yang duduk-duduk, bocah-bocah asik dengan dunianya masing-masing, Bapak-Bapak bersandar pada pagar kapal sedang tunaikan 'kebiasaannya'.

Kapal tandas ku jelajahi. Giliran santai nikmati sisa perjalanan laut. Aku bergeser ke lantai paling atas. Sejajar dengan 'singgasana' Sang Juru Kemudi. Pandanganku lebih luas kali ini. 360 derajat! Sinar keperakan sebentar lagi lenyap. Berganti putih-biru. Kemegahan pagi yang membuat makhluk bumi bersuka-cita. Kondisi yang dianggap mewah bagi penduduk kontinental seberang.

Ujung Pulau Jawa / Photograph by darwinarya
Ujung Pulau Jawa / Photograph by darwinarya

Gunung itu ... Entah kenapa pula mataku selalu tertuju ke sana. Padahal banyak gunung-gunung lain yang mengelilingi. Maunya apa sih? Gemas sendiri aku jadinya. Satu kalimat di kepala enggan pergi. Ah mungkin aku sedang berhalusinasi. Nyatanya tidak demikian. Mau seberapa besar pikiranku terbuang ke hal lain, kalimat itu tetap muncul. Isinya tak berubah. Mau seberapa keras aku memalingkan muka, tetap balik lagi ke gunung itu.

Setelah dimbang-timbang dalam proses penulisan, lebih baik ku simpan sendiri. Misteri biarlah tetap jadi misteri. Mungkin lebih baik begitu. Apalagi yang menyangkut, berurusan dengan alam.

Menjawab Rasa Penasaran

Alam punya cara sendiri tunjukkan keindahannya. Di tiap bagian-bagian terkecil, tak peduli sekecil apapun itu, entah dari tumbuhan maupun hewan, mereka saling tumbuh. Beriringan harmonis dengan perputaran waktu. Semua perlu proses. Ngga ada cerita mak mben-dun-dug, ujug-ujug nongol, trus mak whuuuuut jadi, ngga ada itu. Saya ulang lagi, semua perlu proses.

Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Yang mana nantinya, kesemua itu terangkai menjadi satu kesatuan utuh. Mahakarya Alam untuk manusia. Seringkali kita dibuatnya berdecak kagum. Terlontar pertanyaan dalam hati, "Bisa begini ya? Kok bisa begitu ya?".

Salah satu lanskap yang kutemukan selama perjalanan di Banyuwangi / Photograph by darwinarya
Salah satu lanskap yang kutemukan selama perjalanan di Banyuwangi / Photograph by darwinarya

Mungkin lantaran posisinya yang bersebelahan dengan Bali, warga sudah terbiasa dengan bidikan kamera / Photograph by darwinarya
Mungkin lantaran posisinya yang bersebelahan dengan Bali, warga sudah terbiasa dengan bidikan kamera / Photograph by darwinarya

Seperti yang sudah ku bilang di awal, nun jauh paragraf di atas sana, sebelum-sebelumnya aku hanya 'numpang lewat'. Dari pelabuhan Ketapang tekuk kanan lanjut Surabaya. Nah kali ini beda. Aku belok kiri. Tempuh perjalanan lurus teruuuuuus minim belokan. Berbelok pun hanya pengalihan arus kendaraan sedikit dan voila! Sampai.

Dengan menyerahkan Rp. 12 ribu sebagai tiket masuk sekaligus parkir, resmi lah saya tiba pada tujuan akhir dari perjalanan ini.

Pada lingkar luar itu langkahku terhenti. Hutan rimbun-lebat berada tepat dihadapanku. Wujud daripada deretan pohon-pohon itu menarik perhatianku. Kepalaku sampai-sampai menengadah, amati betul-betul. Bagai rambut Medusa yang nge-jigrag, batang-batangnya tumbuh bercabang-cabang, tinggi-menyamping. Dari batang-batang itu pula, ditumbuhi tanaman serupa bulu-bulu yang seolah membungkus.

"Wih ... Lha kok bisa gitu ya?!" aku takjub dalam hati. Kembali ku langkahkan kaki ini, menyusuri jauh ke dalam.

Sedikit-banyak, Kendaraan Ini Telah Menjadi Saksi Bisu Pergantian Masa / Photograph by darwinarya
Sedikit-banyak, Kendaraan Ini Telah Menjadi Saksi Bisu Pergantian Masa / Photograph by darwinarya

Sayup-sayup ku dengar pembicaraan mereka. Antara seorang Bapak penarik dokar dan salah satu dari rombongan kecil pengunjung. Tak begitu jelas, namun skala satuan hektar terdengar merdu di telinga. Naluriku langsung berbicara. Kasih peringatan. Penjelajahannya yang penting-penting saja. Jangan semua dihabiskan. Inget kondisi badan. Setelah ini mesti --langsung-- bertolak lagi ke Bali. Tenaganya dihemat-hemat, Kisanak. Hitungan usia emang muda, tapi dalemannya udah jompo. Jadi ya ... Begitu lah.

Kendaraan Lain yang Dibiarkan Terbengkalai / Photograph by darwinarya
Kendaraan Lain yang Dibiarkan Terbengkalai / Photograph by darwinarya

Hutan ini ... Agak susah ngomongin takaran persisnya. Sudah ada sejak jaman penjajahan. Dari sekian literasi online yang ku baca, ada yang bilang luasnya 9 hektar. Tetapi ada pula yang mengatakan 3,8 hektar. Asal muasalnya pun ada dua versi, menurut TNI (gudang senjata milik Belanda) dan Perhutani (Tempat Penimbunan Kayu).

Pohon-Pohon Trembesi yang berada di Hutan Lindung Milik Perhutani / Photograph by darwinarya
Pohon-Pohon Trembesi yang berada di Hutan Lindung Milik Perhutani / Photograph by darwinarya

Pohon itu bernama Trembesi. Fungsinya sebagai peneduh sengat sinar mentari. Kalau kita perhatikan lagi, dia bentuknya tinggi melebar toh? Serupa payung. Cocok ditanam di lahan luas tanpa halangan. Akarnya destruktif, menjalar kemana-mana. Mencengkram kuat bumi. Semisal akarnya 'nabrak' beton rumah, rumahnya yang jebol hancur.

Nah ... Kalau yang nempel pada batang Trembesi serupa bulu-bulu itu bernama epifit. Epifit ini bukan jenis tumbuhan parasit. Ia hanya numpang nempel untuk hidup. Tak ubahnya dengan Trembesi, Si Epifit ini juga sebagai peredam sinar matahari.

Ada sekitar 805'an pohon Trembesi yang hidup rapat di hutan itu. Usianya mencapai ratusan tahun, 100 - 150'an tahun kalau kita ngomongin soal angka. Jauh lebih tua dari usia resmi negara kita, Indonesia.

Salah satu dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan. Berkeliling dengan dokar / Photograph by darwinarya
Salah satu dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan. Berkeliling dengan dokar / Photograph by darwinarya

Kekayaan Indonesia dahulu hingga detik ini, selalu tampil seksi di mata negara-negara lain. Ku rasa, bahkan dari jaman Majapahit mundur tarik jauh ke belakang pun udah jadi rebutan bangsa-bangsa dunia. Salah satunya kayu jati. Kayu-kayu yang ditebang, sembari tunggu pembeli, disimpannya di hutan ini. Agar tidak lekas lapuk akibat gempuran matahari maupun hujan. Hutan trembesi ini tercipta untuk area transit. Tercatat Juni 2018, resmi dialih fungsikan sebagai lokasi wisata.

"Ummm ... Excuse me ..."

Siapa pula ngajakin pake Inggris'an, tukasku cepat, begitu mendengar seorang wanita hentikan langkahku. Suara itu berasal dari belakang samping kananku.

"Could you mind help me take a photograph, please?"

"Oh yeah ... Sure! Why not?! With pleasure"

Seorang gadis. Usianya --jelas-- jauh di bawahku. Ku taksir 22 - 25 tahun'an lah. Tingginya se-bibir ku.

"Sooo ... Ummm ... What kind of picture do you want?" tanyaku basa-basi, selagi menunggu Ia rapihkan rambut tergerai sepunggungnya. Handphone miliknya sudah berpindah ke tanganku.

Skala Perbandingan Antara Pohon-Pohon Trembesi dan Ukuran Normal Manusia / Photograph by darwinarya
Skala Perbandingan Antara Pohon-Pohon Trembesi dan Ukuran Normal Manusia / Photograph by darwinarya

"This ...?" kedua tangannya menunjuk deretan Trembesi yang membentuk garis lurus teratur serupa pilar-pilar penyangga langit, telunjuknya bergerak memutar membentuk sebidang frame sebagai bayanganku.

"Aaaaaanddd ... Where you come from?"

"China ..."

"Oh Reaaally?!! Waaaw ... That's Cool! AMAAAAZING!" aku berusaha cairkan suasana, mem-'badut', meski napas dan staminaku sudah diambang batas yang ku tentukan. Ibarat Ultraman gitu, lampu indikator di dadanya udah nyala-nyala, mesti cepet balik biar nda terkapar lemah kehabisan tenaga.

"Wait ... You know what?" seruku tiba-tiba, penekanan nadaku sedikit serius, "Since you come from far away, I'll take this seriously. Let me put aside my camera first".

Ling, sebut saja namanya begitu. Ku buat gampang karena tulisan dan penyebutan nama dia susah.

"So" lanjutku, "I want you ... Just make yourself comfortable, all right? Relax. Enjoy the vibes. The ambience. Feel the surrounding. Ignore me. Pretend I'm not here, just you and your phone", Ling ikut serius, patuh dengarkan apa yang ku minta. Kedua bola matanya membulat yang disusul kemudian Ling manggut-manggut paham. Jarak yang tadinya terbentang, kini berubah. Lebih rapat. "No need worries, you in a good hands"

"Ummm .. Ok .. Wait then", seolah tak mau kalah dalam hal keseriusan, Ling mengambil beberapa langkah mundur, jaket yang dikenakan dibukanya tanpa sungkan.

Mendapati hal yang sedemikian tiba-tibanya --yang jelas itu bukan kaos apalagi dress. Agak terbuka. Dah. Titik. Ngga perlu dibahas lebih jauh--, ritme jantungku sontak terpompa kencang. Si Maimuuuunaaaaahhh ... Ya mbok pelan-pelan, kasih aba-aba dikit keeeeek, ngga ngagetin gituuu. Pekikku dalam hati yang dibalut senyum agak meringis. Tahan dentum jantungku.

"Ok ... Ready?"

"Hu'um ...", Ling ambil pose terbaiknya. Lekuk tubuhnya serupa model professional. Membetulkan rambut yang menurutku sudah rapih-cantik. Kini lebih rileks dia. Tidak seperti diawal perjumpaan.

"Ok .. Just like that ... Wait .. Holdd ... Look up a little bit ... to the left ... Ok just like thaaat ... Good ... Ok .. Perfect ... Another pose please ... Good ... Another one ... Good", ku directing Ling dengan berbagai-macam angle. Dia pose, aku bergerak lincah main tengah, bawah, geser kanan-kiri. Semua berlangsung cepat dan auto pilot. Hilang sudah kekikuk'an Ling terhadapku.

"Ok ... I think I'm done. Here's your photos. Please review it first, before I go", aku menyodorkan balik handphone miliknya. Ling berjalan cepat ke arahku dengan langkah ringan. Dia melonjak kegirangan. Dengan jarak sedemikian dekatnya, digenggamnya tanganku erat, "Thaaaank youuuuu! So preettyyyyy!", kedua matanya kini tampak melengkung serupa bulan sabit. Bersibobrok dengan mataku. Aroma parfumnya menerjang lembut hidungku.

"All Good?"

Ling tak menjawab. Anggukan kepalanya begitu antusias mengiyakan.

"Want's more?"

"YEAH!" pekiknya.

Selanjutnya ... Apa yang terjadi antara kami berdua ... Cukup Aku, Ling dan De Djawatan Forest yang tau. Menjadi saksi bisu. Dari secuil kisah perjalanan, 'Cinderamata' dari Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun