"Lauknya apa Bro?", tanya desain grafis saat kami mampir disebuah warung di Makassar untuk makan siang. Katanya, coto di sana enak dan cukup 'femes'.
"Porsi biasa aja Sobh," jawabku kalem, celingak-celinguk cari tempat duduk paling strategis perputaran anginnya. Dalam hati ku nyeletuk, Huh, kali ini saya tidak akan tertipu. Makasih, cukup sekali ku dikerjain.
Mohon maap nih yaaaak para netijen, jangan diketawain. Sebelum ku nyobain menu satu itu, ku pikir itu typo. Coto di kepalaku kebaca Soto. Apaan sih coto-coto. Soto kaliiik maksudnya?!
Nah.. Sebelum penugasan ke Makassar ini, aku diberangkatkan ke Banjarmasin. Bapak GM ngajakin ke depot khas Makassar. Dipesankan lah coto.
First impression waktu terhidang adalah... Ini apaan? Wah becanda yang jualan. Ngejek apa gimana maksudnya? Porsinya kok imut banget (mengamati seksama, diiringi gerakan kepala yang mengelilingi si mangkuk)? 5 kali lahap juga tandas nih, pikir ku.
Trus pas ku sruput kuahnya tuh ya, rasanya ibarat konsentrat. Ngga usah pakai lauk, cuma kuah dimakan sama ketupat, buatku udah cukup karena saking kentalnya.
Dari sana ku gak berani under-estimate lagi sama yang namanya Coto Makassar.
Gak Usah Tugas, Kita Kabur Aja Yoook
"Selamat malam Bapak Darwin, saya driver yang ditugaskan untuk menjemput Bapak. Saya sudah standby di pintu kedatangan," ujarnya melalui WhatsApp, yang baru terbaca seusai pesawat landing mulus di Sultan Hasanuddin Airport.
Ini kota pertama yang saya pijak di Sulawesi. Menyebut pulau ini, di kepalaku sebenernya langsung tersebut kota Manado. Dari kecil ku pengen ke sana tapi belum keturutan juga. Well... Sekarang Makassar dulu. Setidaknya udah satu pulau. Siapa tau berikutnya bakal ke sana. AMIN.
Seperti biasa, tiap kali datang ke kota yang belum pernah saya kunjungi, perasaan saya selalu menggebu-gebu. Diselimuti rasa penasaran. Pengen tau gimana tata kotanya, lingkungan, karakter-budaya masyarakat, kulinernya dan lain sebagainya.
Selama di mobil, perjalanan dari airport menuju hotel, fix totally udik akunya. Ngeliat kanan-kiri dengan tatapan berbinar-binar.
Tampaknya sang driver memergoki tingkah ku itu, ia lantas buka obrolan mengenai spot-spot menarik di Makassar.
Selain itu, saya juga diceritakan tentang pasar pelelangan ikan, tempat jual durian yang murah (pake banget), sampai terucap lah 2 destinasi yang menurut saya WAJIB DIKUNJUNGI untuk diabadikan, Masjid 99 Kubah dan Masjid Terapung.
Masalahnya adalah, belum juga eksekusi tugas utama, udah dicekokin banyak destinasi seru. Saya udah ngebayangin frame-frame yang bakal ku ambil jadinya seperti apa. Berulang kali timbul pikiran nakal... Gimana kalau ngga usah tugas? Kita kabur aja! Jalan-jalan blusukan kota Makassar sampe puas! (trus ku digetok Corporate :p)
Huh? Sama Nona?
"Mas... Besok pagi kita ke pulau ya, ke Samalona jam 8-an," info Kakak ter-heiiiiiitz dikala kami ngobrol santai sembari santap malam.
"Huh? Apa Kak? Sama nona? Nona siapa?" celoteh ku cepat tanpa berpikir panjang.
"Samalona Mas, Sama-Looonaaaa"
"Oh... Ummm... Ok Kakak" ujarku penuh tanda tanya, itu pulau apa ya?
Keesokan paginya ku udah standby di restoran. Sarapan bentar trus turun ke lobby. Pasukan yang berangkat menemaniku sebanyak 3 orang. Ternyata dermaganya ngga terlalu jauh dari hotel, sekitar 15 menit traffic sedang naik mobil.
"Kakak ... Boat-nya berangkat jam berapa? Apa ngga kesiangan kita? Nanti ditinggal," tanyaku sedikit resah, meleset 1 jam 30 menit dari yang semalam ditentukan.
"Tenang Mas, udah kita charter seharian penuh boat-nya, khusus buat kita berempat," ujarnya mantap.
Waduh... Istimewa lho BWPMB, sampai sewa kapal buat kita-kita (auto sungkan dong aku nya tuh).
Boat yang dimaksud kapasitasnya kurang lebih 6-8an orang, berpenggerak motor tunggal. Adapun perjalanan laut memakan waktu sekitar 45 menit.
Beruntung ku udah terbiasa 'digoyang asik' di tengah laut lepas. Naik-turun, goyang kanan-kiri, saat memecah gelombang kecil. Sensasinya menyenangkan buatku, tapi tidak buat mereka yang ngga terbiasa. Liat dong ketiga ekspresi pasukan ku... Tegang!
"Kenapa Kak?" tanyaku singkat sembari nyindir.
"Ngga papa Mas" jawabnya diiringi senyum maksa. Tangan mencengkram badan perahu, deg-degan, sesekali nyebut, trus teriak-teriak mantjaaah gimanaaa gitu.
Permata Hijau Turquoise
"Mas mau pilih yang mana tempatnya?" tanya Kakak Vivi, menanyakan tempat istirahat untuk duduk-duduk selama saya melakukan aktivitas pemotretan di pulau Samalona.
Tempatnya untuk bersantainya sederhana, terbuat dari bambu yang disusun sedemikian rupa dengan kerangka kayu berbentuk kotak-kotak sehingga membentuk ruang. Sementara atasnya memakai gypsum.
Pulau Samalona terbilang kecil. Kita bisa mengitarinya cukup dengan berjalan kaki saja. Kebanyakan pengunjung yang datang pada saat itu adalah keluarga yang mengajak serta sang buah hatinya.
Bermalam untuk couple pun sebetulnya amat cocok, mencari ketenangan dari bising perkotaan. Katanya sih disediakan semacam penginapan gitu, tapi saya ngga sempat inspeksi. Terlalu asik berkeliling.
Dirasa frame yang saya ambil sudah lebih dari cukup, sekarang waktunya nikmati pulaunya. Ngga usah pakai pelampung, fin maupun google, berenang bebas kitaaaa! Yaaaaay! Air lautnya ngga begitu terasa perih di mata kok. Tapi kalau udah renang, jangan lupa tepian yak.
Puas bakar tenaga sehabis berenang, waktunya makan siang. Kami memesan ikan bakar, sayung kangkung dan se-wakul nasi panas yang ditawarkan penduduk. Lidah makin syeeeeedaph bergoyang sewaktu kena sambal dabu-dabu.
Sebenernya ku pengen juga iseng nyeletuk, "Ummm... Boleh sekalian minta tolong disuapin nggaaaak, Kakak? Biar habis ini pegang kamera ngga kotor." #eh #modus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H