Kapal yang saya tumpangi 'melayang' tenang di atas permukaan air laut. Airnya berwarna hijau jernih. Raung mesin kapal terdengar kalem. Kapal berkapasitas kurang lebih 30an orang itu bermanuver pelan ketika mendekati pelabuhan Nusa Lembongan. Pelabuhan itu bernama Mushroom Beach.
Sama halnya dengan penyebrangan pantai Sanur, di pelabuhan Mushroom tidak dilengkapi fasilitas dermaga. Jadi kita (lagi-lagi) harus berbasah-basahan ria. Setidaknya dari lutut ke bawah lah ya. Kalau ada ombaknya bisa sepaha atas basahnya.
“Mas! Keluar saja dulu, itu (ambil foto) nanti aja!” seru penumpang lelaki paruh baya kepada saya. Kaget juga saya dibegitukan. Tadinya saya mau nge-Vlog tapi batal.
Lantas apa yang membuat para penumpang ingin segera turun? O la la ... Ternyata ada beberapa penumpang yang mabuk laut. Yang paling parah, ada muntahan orang di tengah lantai. Pelakunya gampang ditebak, cari aja yang badannya paling lemas dengan wajah pucat pasi. Tebakan saya benar. Saking gak kuatnya, wanita itu sampai digotong turun dari kapal. Itu lah kenapa ada baiknya minum obat anti mabuk seperti yang saya ulas pada artikel pertama saya, “Nusa Lembongan yang Cantiknya 'Gak Wajar' (1)”.
Kenapa pantai atau pelabuhan ini diberi nama Mushroom Beach? Tadinya saya pikir di sana banyak penjual magic mushroom-nya. Ternyata bukan. Menurut penduduk sekitar, diberi nama demikian karena terdapat banyak bebatuan yang bentuknya menyerupai jamur.
Kesan awal melihat Nusa Lembongan dari dekat, tampak asri dan tenang. Dominan hijau gelap yang berasal dari pepohonan yang tumbuh subur. Jejeran orang terlihat duduk santai di tepi pantai. Ada yang menjemput kerabat ataupun teman, ada juga yang menawarkan jasa penginapan dan kendaraan. Tapi tenang, mereka nawarinnya sopan kok. Enggak ekstrim apalagi pakai ngotot. Selow dan murah senyum. Asik diajak tawar-menawar.
Kunjungan saya ke Nusa Lembongan dalam rangka liputan, Kamis (27/4). Diundang oleh Nicks Place Lembongan. Cafe itu baru saja me-launching menu terbarunya, Crispy Duck. Letak keunikan menu itu adalah, tekstur daging bebeknya yang lebih lembut daripada ayam, namun lebih padat dari ikan. Lha kok bisa? Ya bisa lah. Menariknya lagi, Nicks Place Lembongan menyediakan fasilitas antar jemput tamu yang ingin bersantap di sana secara gratis. Artikel lengkapnya ada di “Crispy Duck Hingga Saus Texas ala Nicks Place Lembongan”.
Jaringan telepon 'kelas wahid' signalnya tidak masalah di Nusa Lembongan. Kualitasnya berkurang dikit, tapi tetap oke. Namun sayang, provider ber-slogan “I hate slow” justru kandas.
Akses & Pengguna Jalan
Pengendara motor di Nusa Lembongan itu 'metal-metal'. Entah itu penduduk lokal maupun turis asing. Saya amati, 95% dari mereka tidak memakai helm. Usut punya usut, Polisi di sini katanya 'enggak galak'. Jangankan galak, ngeliat petugas berdiri jaga atau pos polisi aja saya enggak ngeliat. Meski demikian tetap saja, ada baiknya mengenakan perlindungan kepala saat berkendara (kalau ada, #eh :p).
Kontur jalan kebanyakan berkelok-kelok. Di beberapa titik bahkan ada yang berkelok patah dipadu dengan tanjakan agak curam dan menurun. Jadi jangan kaget kalau di sini sering sekali pengendara kendaraan bermotor membunyikan klakson.
Nyaris tak ada mobil pribadi di Nusa Lembongan. Yang ramai adalah motor sewaan yang ditunggangi bule-bule dan mobil pengangkut penumpang. Motornya jangan dikira keluaran terbaru atau kinyis-kinyis. Paling tidak bisa jalan dan ngerem. Ngerem nya pun agak 'ngotot' dikit. Mungkin karena di sana juga tidak ada bengkel resmi, jadi sulit untuk perawatan. SPBU pun tak ada. Yang ada 'Pertamini' punya.
Selain mobil carry, ada pula mobil buggy yang biasa dipakai di lapangan golf. Mobil ini memiliki kapasitas penumpang jauh lebih sedikit ketimbang mobil carry. Sumber tenaga penggeraknya berasal dari baterai. Jadi biayanya lebih mahal.
Payung Warna-warni dan Pesona Jungut Beach
Ada waktu sedikit buat 'kabur' dari tugas liputan. Saya memutuskan pergi ke pantai Jungut Batu yang berfungsi juga sebagai pelabuhan. Jarak antara Mushroom Beach ke Jungut Batu Beach tidak begitu jauh. Sekitar 15 menit ditempuh dengan motor.
Dalam perjalanan menuju Jungut Batu itu saya menemukan suatu lahan yang difungsikan sebagai makam penduduk setempat. Jumlah makamnya mencapai belasan hingga puluhan. Yang membuat saya tertarik adalah, tepat di atas batu nisan tersebut ditancapkan payung. Satu makam, satu payung. Satu payung dengan yang lain warnanya berbeda-beda. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, peletakan payung-payung itu diyakini masyarakat agar kepala almarhum tidak kepanasan maupun kehujanan. Tadinya saya sempat berhenti untuk mengambil gambar. Tapi akhirnya saya hapus karena beberapa alasan.
Banyak turis asing yang berhenti sejenak untuk mengambil foto di spot ini. Namun perlu waspada. Di titik itu kontur jalannya curam patah. Jadi jangan taruh kendaraan sembarangan karena akan menghalangi lalu-lalang mobil maupun motor. Seorang turis Asia sempat diteriaki bule naik mobil gegara nyebrang kelewat santai. “Oh My GOD!” hardiknya kencang.
Memasuki kawasan ini pun tidak dikenakan biaya parkir atau tiket masuk. Gratis, tis, tis. Mantep toh? Butiran pasirnya berwarna putih bersih. Nyaris tak ada sampah. Kalau toh pun ada, paling juga rerumputan yang terbawa arus ombak.
Karena masih ada tugas yang harus dikerjakan (liputan), saya memutuskan untuk balik kanan. Esoknya saya jalan-jalan seharian penuh. Mulai dari pagi sampai sore sih, lebih tepatnya. Seperti apa cerita perjalanan saya? To be continued yaaaaak ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H