Ceritanya saya dan partner seperjalanan bingung mau makan apa. Kebetulan malam itu lagi pengen makan sesuatu yang sekiranya "menantang" perut.
"Ahhh ... Gimana kalau nasi tempong aja? Tempatnya pernah masuk Tribun Bali tuh," ucap saya spontan.
Berangkat lah kami ke warung yang dimaksud.
Masalah lain pun timbul. Seingat saya, di artikel itu, si reporter tidak menyebut ancer-ancer lokasi. Alhasil, repot lah kami berdua. Mengurut tempat makan di sepanjang jalan. Dan akhirnya ketemu.
Nasi Tempong Nusantara Asli Banyuwangi terletak di jalan Hayam Wuruk, Denpasar. Patokannya, di depan persis restoran Pizza Hut Delivery (PHD).
Lantunan musik Banyuwangi menyambut kedatangan kami. Mendengarnya, saya bagai berada di dalam kapal feri penyeberangan Ketapang - Gilimanuk. Harap maklum, tiap kali saya nyebrang, lagu itu kerap diperdengarkan kencang-kencang.
Seorang nenek tengah duduk di samping etalase menu. Dugaan saya, dia lah sang pemilik warung.
Saya sempat celingak-celinguk beberapa saat. Tak ada seorang pun pegawai yang meladeni kami. Mereka sibuk sendiri di belakang etalase. Melihat kebingungan kami, nenek itu kemudian meminta kami untuk mengambil secarik kertas nota beserta ballpoint yang telah disediakan.
Oh ... Ternyata kita disuruh mengisi sendiri, mau lauk apa. Setelah itu, baru diserahkan ke pegawai.
[caption caption="Etalase Kaca Berisi Menu / dap "]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/12/img-20160812-185918-01-57addf4366afbda11cd45ce7.jpeg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Saya lihat menunya ada terong yang dilumuri sambal, lele goreng, ayam sambal, jeroan ayam, ikan, tahu tempe dan lain sebagainya. Melihat deretan lauk itu, membuat saya mendadak ngiler. "Kayaknya dahsyat nih sambelnya," gumam saya dalam hati.
Kali itu saya pesan lele goreng dan terong sambal. Sementara partner kuliner saya pilih ayam goreng, terong dan tempe. Adapun minumannya, es teh dan teh panas.
![Suasana Ruang Makan / dap](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/12/img-20160812-190057-01-57add962337b61721ae48597.jpeg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Kami tak perlu menunggu lama, 10 menit kemudian, pesanan sudah terhidang lengkap di atas meja.
Tiap porsi, selain lauk dan nasi putih, kita diberi sayur mayur yang telah direbus. Ada potongan mentimun, sayur kangkung, kacang panjang dan labu siam. Tak ketinggalan sambal, tentunya.
Saya amati, porsi nasinya sedikit. Satu cetakan kecil seperti yang disediakan gerai fast food. Buat saya mana cukup? Kudu nambah satu porsi lagi. Lelenya pun begitu, saya pesan satu, tapi dikasih dua ekor.
Lelenya renyah. Terutama bagian kepalanya. Kriuk-kriuk bisa dimakan. Meski demikian, dagingnya tak kelewat kering. Begitu pula daging ayamnya.
Hanya saja, sambalnya ini yang agak mengecewakan. Tidak sepedas yang saya kira. Tempong dalam bahasa Banyuwangi bisa diartikan seperti digampar atau ditabok. Bahkan tak jarang pelanggan berderai air mata lantaran saking pedasnya.
Tapi di warung ini, buat lidah saya, tak ubahnya bagai membelai indera pengecap. Kurang njotos. Sambalnya juga tak terasa apa-apa. Hanya sekedar pedas saja.
Tibalah waktunya pembayaran. Total kami diharuskan merogoh kocek sebesar Rp 51 ribu. Rinciannya, Nasi, lele, terong, Rp 16 ribu. Ayam, tempe, nasi, Rp 23 ribu. Es dan teh panas, Rp 8 ribu. Tambah nasi putih seporsi, Rp 4 ribu.
Cleguk!