Kali itu saya pesan lele goreng dan terong sambal. Sementara partner kuliner saya pilih ayam goreng, terong dan tempe. Adapun minumannya, es teh dan teh panas.
Kami tak perlu menunggu lama, 10 menit kemudian, pesanan sudah terhidang lengkap di atas meja.
Tiap porsi, selain lauk dan nasi putih, kita diberi sayur mayur yang telah direbus. Ada potongan mentimun, sayur kangkung, kacang panjang dan labu siam. Tak ketinggalan sambal, tentunya.
Saya amati, porsi nasinya sedikit. Satu cetakan kecil seperti yang disediakan gerai fast food. Buat saya mana cukup? Kudu nambah satu porsi lagi. Lelenya pun begitu, saya pesan satu, tapi dikasih dua ekor.
Lelenya renyah. Terutama bagian kepalanya. Kriuk-kriuk bisa dimakan. Meski demikian, dagingnya tak kelewat kering. Begitu pula daging ayamnya.
Hanya saja, sambalnya ini yang agak mengecewakan. Tidak sepedas yang saya kira. Tempong dalam bahasa Banyuwangi bisa diartikan seperti digampar atau ditabok. Bahkan tak jarang pelanggan berderai air mata lantaran saking pedasnya.
Tapi di warung ini, buat lidah saya, tak ubahnya bagai membelai indera pengecap. Kurang njotos. Sambalnya juga tak terasa apa-apa. Hanya sekedar pedas saja.
Tibalah waktunya pembayaran. Total kami diharuskan merogoh kocek sebesar Rp 51 ribu. Rinciannya, Nasi, lele, terong, Rp 16 ribu. Ayam, tempe, nasi, Rp 23 ribu. Es dan teh panas, Rp 8 ribu. Tambah nasi putih seporsi, Rp 4 ribu.
Cleguk!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H