"Ini yang punya warung pasti orang Yogyakarta nih," ujar batin saya mantap selagi lihat daftar menu, Rabu (22/6) malam.
Soalnya dari sekian banyak menu yang ditawarkan, terdapat kata 'godog'. Setau saya, yang pakai kata khas itu hanya warga kota Gudeg.
Dugaan saya nyaris benar, meleset sedikit. Sewaktu saya tanyakan langsung ke sang pemilik, ternyata asli orang Solo. Pak Daniel Brata Priyono namanya.
Saya lihat proses memasaknya tidak menggunakan gas elpiji, melainkan bara arang yang ditiup memakai blower. Benda berwarna hijau tersebut tidak mengeluarkan bunyi bising. Anehnya, tak ada asap yang mengepul.
"Kalau pake gas, rasanya jadi lain, Mas," jawab Pak Daniel Brata singkat. Sibuk meracik pesanan para pembeli.
Ini kedua kalinya saya datang ke sini. Sebelumnya saya sempat cicipi bakmi nyemek-nya. Namun, pada kesempatan kali ini saya ingin coba bakmi godog. Sedangkan minumnya tetap sama, yakni es item atau es cincau.
Ruang makannya sederhana namun nyaman. Bisa menampung sekitar 50 orang. Proses memasak tidak membutuhkan waktu lama. Kurang lebih sekitar 15 menit.
Paling nikmat menyantap hidangan macam ini adalah dimakan selagi panas. Kalau berkurang suhunya kurang sedap. Sewaktu dihidangkan, aromanya menggugah selera makan.
Mienya berbentuk gepeng (pipih), berwarna kuning dan bertekstur kenyal. Seporsi bakmi godog terdapat irisan daging ayam yang cukup tebal. Jumlahnya cukup banyak. Dilengkapi pula dengan sayuran sawi hijau (tanpa Batang), seledri, potongan tomat, irisan cabai (tingkat pedas tergantung permintaan) dan telur yang dikocok lebih dulu sebelum dimasak.
Rasa pedas didapat tidak hanya berasal dari potongan cabai, tetapi juga taburan bubuk merica. Hal itu dapat dirasakan dari sensasi tenggorokan yang terasa hangat.