Seusai menamatkan pendidikan SMA, ia dihadapkan empat pilihan kampus. Ada Universitas UGM Yogyakarta, IPB Bogor, Unsyiah Aceh dan Udayana Bali. Setelah dipertimbangkan masak-masak, pilihan jatuh pada Universitas Udayana Bali.
Keputusannya itu jelas kurang disetujui oleh kedua orangtuanya. Selain jaraknya yang jauh, di Bali juga tak ada satu pun sanak saudara. Wajar bila terjadi adu argumen antara keduanya. Tapi apa punya mau, hati sudah terlanjur mantap untuk melangkah.
Mbak Tio tercatat sebagai mahasiswi Universitas Udayana Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) tahun 1999. Selama menempuh pendidikan, ia tidak diberi fasilitas penunjang dari orangtuanya. Benar-benar berjuang di tanah rantau seorang diri.
"Dari dulu saya terbiasa mandiri dan hidup sederhana. Saya ini badannya aja cewek, tapi mental dan tingkahnya udah seperti cowok (tomboy)," katanya terkekeh.
Seperti kebanyakan mahasiswa/i lain, ia juga berkeinginan menambah uang saku. Wanita yang kini berprofesi sebagai Tour Organizer ini dulunya pernah nyambi jualan bolu kukus serta jajanan pasar. “Saya biasa jualan di dekat pohon beringin di pasar Jimbaran, buka dari pukul 05.00 – 08.00 WITA. Saya juga pernah kasih les mata pelajaran untuk tingkat TK sampai SMP,” akunya.
Namun, karena adanya permintaan keringanan biaya dari sejumlah orangtua murid, Mba Tio akhirnya menggratiskan kegiatan belajar mengajar. “Kalau yang les private baru saya charge,” katanya.
Memasuki semester empat, hati Mbak Tio berontak. Ia kurang nyaman mengikuti kelas praktikum yang notabene memakai satwa sebagai bahan penelitian. "Akhirnya saya memutuskan berhenti dari FKH dan pindah ke Fakultas Sastra Inggris."
17 tahun tinggal di Bali ('99 – 2016), Mbak Tio pindah rumah sebanyak dua kali. Tempat tinggalnya yang pertama di daerah Jimbaran, kemudian Gianyar dan sekarang ini di Abiansemal, Badung.
Kepindahannya dari Gianyar ke Abiansemal menorehkan pengalaman tak terlupakan. Tiba-tiba ia dipaksa pindah oleh pemilik kontrakan. Entah karena alasan apa.
“Saya diberi tenggat waktu dua minggu untuk pindah. Yang pasti bukan karena pelihara banyak satwa. Sebelum tinggal di sana, saya sudah izin lebih dulu dan diizinkan. Mungkin rumahnya mau dibangun Villa atau gimana, saya enggak tau persis,” tuturnya.
Beban di pundaknya kian terasa berat karena saat itu kondisi ekonominya sedang sulit. “Kalau saya pindah sih enggak ada masalah. Saya bisa cari makan dan kerja yang lebih baik. Tapi bagaimana dengan nasib peliharaan saya? Tidak mungkin saya meninggalkan mereka sendiri. Lepas begitu saja dari tanggung jawab,” protesnya.