Saya terpaksa ‘berburu’ air minum ke berbagai tempat. Di luar perkiraan, ternyata sulit sekali mendapatkan sisa stok. Dari Tukad Badung saya menyusuri jalan Tukad Yeh Aya, Tukad Yeh Aya IX, Tukad Balian, Mertasari, Sidakarya dan terakhir Tukad Pakerisan. Di sana saya baru dapat. Itupun toko kecil yang menjual jamu.
Lebih mengejutkannya lagi, harga yang dipatok pun mahal. Biasanya dibanderol seharga Rp 16 ribu. Kali itu saya harus membayar Rp 18 ribu.
“Saya hanya mengikuti harga dari sales-nya, Mas. Stoknya memang lagi sedikit. Ini juga saya baru dapat kiriman,” kata bapak penjual sewaktu saya tanya kenapa harganya naik signifikan.
Belakangan saya juga mendapat informasi bahwa stok Aqua sulit didapat. Iwan, salah seorang rekan kerja, menuturkan di daerahnya di kawasan Kuta pun demikian. Ni Wayan Mustiari, rekan kerja lain, yang tinggal di daerah Ubud juga begitu.
Menariknya, sewaktu kantor tempat saya bekerja memesan 5 galon sekaligus, kurir Aqua yang menggunakan truk langsung datang mengganti galon-galon kosong tersebut.
Melihat peristiwa itu, saya lantas menarik kesimpulan bahwa Aqua lebih mementingkan korporat ketimbang pengecer. Kalau benar begitu keadaannya, kasihan sekali kami-kami ini. Pontang-panting kesana-kemari demi memenuhi kebutuhan air minum.
Saya tidak dapat berbuat banyak. Selain berharap lekas hujan. Biar bencana kekeringan ini segera berlalu. Semoga. (dap)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H