Pada tahun 1930-an, Zainuddin yang dibesarkan di Makassar, ia berlayar menuju kampung halaman ayahnya di Padang. Untuk mendekatkan diri dengan leluhurnya dan memperdalam agama. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis cantik jelita, bernama Hayati. Keduanya mulai jatuh cinta. Namun hubungan mereka tidak direstui oleh keluarga Hayati karena Zianuddin dianggap tidak setara dalam status sosial terutama dalam hukum budaya dan adat istiadat.
Tekanan sosial dan adat memaksa Hayati menikah dengan Aziz, seorang prian kaya dan terpandang. Pernikahan Hayati dengan Aziz tidak membawa kebahagiaan karena Aziz memperlakukan Hayati dengan buruk. Sementara itu, Zainuddin, yang patah hati, pergi ke Surabaya dan menjadi seorang penulis terkenal. Nasib membawa Hayati dan Aziz kembali bertemu Zainuddin di Surabaya, di mana Aziz akhirnya meninggalkan Hayati dan menyerahkan istrinya kepada Zainuddin.
Namun, meskipun Zainuddin masih mencintai Hayati, ia menolak untuk menerima Hayati kembali karena rasa sakit hatinya yang terlalu dalam. Dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya, Hayati menumpang kapal Van der Wijck yang akhirnya tenggelam. Hayati meninggal dalam kecelakaan itu, meninggalkan Zainuddin dengan penyesalan mendalam.
Analisis
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, karya Buya Hamka ini kaya akan unsur-unsur sosial,cinta,dan moral yag digabungkan dalam kisah yang tragis. Tema yang digunakan adalah cinta yang tragis, yang dikemas dalam hubungan antara Zainuddin dan Hayati. Namun, tema cinta tersebut dipadukan dengan kritik sosial terhadap adat istiadat, terutama yang berkaitan dengan sistem kekerabatn Minangkabau yang matrilineal dan juga memandang rendah orang dari kaumnya. Novel ini juga mengandung tema ketidakadilan sosial dan perbedaan ras, itulah hambatan yang besar dalam hubungan cinta mereka. Alur cerita yang digunakan menggunakan alur maju-mundur, dimana pembaca mengajak mengikuti perjalanan  zainuddin.
Latar yang digunakan ada dibeberapa tempat penting, seperti Minangkabau, Batiputih, Padang Panjang, dan Surabaya, serta perjalanan di atas kapal Van der Wijck yang menjadi latar kejadian tragis di akhir cerita.Â
Penulis Hamka juga menggunakan bahasa yang puitis dan kaya akan nilai moral serta ajaran agama, selain gaya bahasa nya, Hamka juga dengan jelas menyampaikan kritik terhadap adat Minangkabau yang kaku, terutama pada pandangan tentang garis keturunan dan status sosial. Sistem adat yang sangat membatasi kebebasan individu dalam memilih jodoh, selain itu Hamka juga menyingung tentang materialisme dalam masyarakat, di mana status seseorang lebih dihargai berdasarkan kekayaan dan kekuasaan daripada hati dan ketulusan.
Pada intinya novel ini tidak hanya menawarkan cerita cerita yang mendalam dan tragis, tetapi juga sebuah karya yang menggugah kesadaran sosial. Hamka menggunakan novel ini sebagai alat untuk mengkritik struktur sosial yang menghambat kebebasan individu, sambil tetap menyelipkan pesan-pesan moral dan religius.
Evaluasi
Buku ini sangat bagus untuk dibaca semua orang, apalagi untuk para pelajar karena alur ceritanya yang indah terutama kisah cintanya yang tragis dan menyentuh, gaya bahasa yang digunakan puitis, indah, dan sangat bermakna, penggambaran karakter yang mendalam apalagi latar tempat dan budaya yang ditampilkan sangat menarik seolah olah dapat mengajak pembaca ke dalam cerita tersebut. Novel ini juga memiliki kekurangan di antaranya ada beberapa naskah menggunakan bahasa daerah yang sulit dipahami oleh pembaca, bahasanya banyak yang bertele tele, pemborosan kata, dan juga adanya unsur kesenjangan sosial yang tidak baik untuk dicontoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H