Mohon tunggu...
Darul Syahdanul
Darul Syahdanul Mohon Tunggu... wiraswasta -

Suatu saat akan mengarungi lautan Indonesia dengan Kapal Pinisi dengan membawa bendera www.gandengtangan.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Enam Belas Itu... (Cerita Pengajar Muda di Pagar Selatan Indonesia)

2 Agustus 2013   23:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:41 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SD Inpres Oenitas, di sekolah ini saya menjadi tenaga pendidik bagi siswa kelas III. Sekolahku tepatnya di Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao. Sekolah yang sudah cukup lumayan dari segi fisik, bahkan sekolahku memiliki perpustakaan dengan koleksi tidak kurang dari dua ribu buku serta puluhan alat peraga pembelajaran. Menurut informasi buku dan peralatan tersebut didatangkan tahun 2008 melalui beberapa program bantuan dari pemerintah. Namun yang sangat aku sayangkan adalah barang-barang tersebut hanya menjadi pajangan dan tersimpan rapi di dalam lemari, bahkan ada beberapa yang telah rusak (berkarat atau di makan rayap) karena tak diperhatikan. Jika melihat sepintas mungkin kita akan berpikir anak-anak (sekolah) di sini tumbuh dengan keterbatasan (pengetahuan maupun akses informasi). Namun setelah tiga bulan di Desa ini aku berpikir jika hal tersebut seharusnya tidak terjadi, yang terjadi adalah mereka korban keterbatasan dari pengayom mereka di sekolah dan di rumah. Kadang aku juga berpikir mereka mungkin ditakdirkan untuk terbatas karena mereka hidup di daerah perbatasan republik ini (sama-sama menggunakan kata dasar batas hehehe..... :) ). Namun aku yakin mereka kelak akan menjadi lebih baik dari masa kecil mereka. Berikut ini coba aku rangkum mutiara-mutiara muda (murid-muridku) dan tempat mereka di tempa untuk menjadi mutiara yang benar-benar berkilau di masa yang akan datang. Desa Oenitas Desa ini terletak di Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao (Kabupaten paling selatan NKRI). Akses untuk menuju desa ini dari pusat kota kabupaten tidaklah terlalu berat, jalan aspal laston mulus mengiringi perjalanan menuju desa ini. Waktu tempuhnya sekitar 60 menit dengan sepeda motor, sepanjang perjalanan menuju Desa ini anda akan di suguhi pemandangan padang luas (jika kemarau berwarna coklat dan musim penghujan berwarna hijau), hewan-hewan ternak, dan melewati sebuah danau yang lumayan luas. Desa ini memiliki luas wilayah 57,36 Km², jumlah penduduk kurang lebih 2.327 jiwa. Jarak antar rumah di desa ini berkisar 50 m - 100 m, satu rumah kadang berpenghuni 10-20 Jiwa, 99,9 % penduduknya beragama kristen protestan, mayoritas suku yang mendiami desa ini adalah suku Oenale. Mata pencaharian penduduk rata-rata adalah bertani (sawah tadah hujan, berkebun sayur), beternak (sapi, domba, dan babi), serta menyadap sari lontar (nira) untuk dijadikan gula. Desa ini belum menikmati jaringan listrik, jaringan telekomunikasi sudah ada namun signal yang dipancarkan belum stabil, untuk penerangan tiap rumah menggunakan tenaga surya ataupun generator set (di beberapa rumah). Air bersih di desa ini terbatas, jika musim kemarau tiba (Oktober -Desember) beberapa sumur umum akan mengering. Konsumsi pangan warga sangat jauh dari 4 sehat 5 sempurna, menu utama setiap hari nasi + kacang-kacangan/sayuran, sangat jarang di temui ikan ataupun variasi makanan lainnya. Namun untuk pemandangan alam Desa ini sangat luar biasa, padang rumput yang berundak-undak terbentang sangat luas, pada malam hari kita bisa menikmati ribuan cahaya bintang di langit yang sangat cerah, bahkan sepuluh kilometer ke arah barat desa ini (Desa Dela dan Bo’A), anda akan menemui kawasan wisata Pantai Nemberala. Pantai dengan pasir putih dan menghadap langsung ke Samudera Hindia, ombak pantai ini sudah tersohor sampai ke mancanegara. Sehingga tidak heran di pantai ini anda akan menemui banyak bule yang betah berminggu-minggu untuk berselancar. Fasilitas di kawasan ini juga sudah lumayan memadai. Secara singkat dapat dikatakan jika Desa Oenitas berada di antara desa yang sudah memiliki jaringan listrik, telekomunikasi, dan air bersih yang melimpah. Itulah sedikit gambaran desa ini, Mutiara-mutiara muda itu Agnes Fitria Mbura, lahir di Oenitas, 31 Juli 2003, anak dari bapak Daniel Mbura dan ibu Orpa Lodo. Setiap hari bapaknya naik turun puluhan pohon lontar untuk menyadap sarinya, sedangkan sang ibu merawat kebun sayur yang ada di pinggiran embung. Agnes merupakan anak ke 4 dari 6 bersaudara, iya memliki rambut paling panjang di antara teman-temannya yang kelas III, anaknya pendiam dan pemalu. Tahun ini iya mengulang di kelas III, kemampuan Calistungnya (Baca, Tulis, dan Hitung) sangat rendah, di kelas iya selalu menatap kosong ke arah jendela, lantai, ataupun langit-langit kelas. Sampai saat ini aku belum tahu apa penyebabnya. Dari muridku yang satu ini aku belajar tentang kesabaran, setiap hari aku harus selalu sabar untuk mengajarinya huruf demi huruf, kata demi kata, jika mendengar iya membaca satu kata saja aku sangat senang. Dia bercita-cita ingin menjadi sarjana dan kuliah di jawa. Melinda Giri, lahir di dusun Loudano 14 September 2003, anak dari bapak Marten Thobias Giri dan ibu Dulfiana Yunika Nggadas, setiap hari iya berjalan kaki empat kilometer untuk ke sekolah. Iya pernah mengulang di kelas II, anaknya pemalu namun memiliki daya tangkap yang lumayan, diantara teman-temannya Melindalah yang paling tahu daerah asalku, dan paling senang menyebut pulau sulawesi. Dia bercita-cita menjadi guru, dan ingin kuliah di Makassar. Semoga iya bisa melampaui cita-citanya J. Adrianus Boboy, lahir di dusun Oenitas, 30 Agustus 2004, anak dari Abner Boboy dan Ibu Petronela Pandie, oleh teman-temannya iya di panggil Me’a (beberapa anak di sekitar rumahku juga dipanggil Me’a). Anaknya memiliki kecerdasan Interpersonal, sangat peka dengan temannya bahkan gurunya. Gara-gara pernah suatu sore (di awal-awal kedatnganku) aku minum tuak (nira) di rumahnya dan bilang sangat senang, sampai hari ini iya tidak pernah berhenti mengantarkannya ke rumah setiap sore. Sayangnya dari beberapa referensi yang aku baca, di terindikasi disleksia dan sangat lambat menangkap pelajaran apapun. Semangat belajar dan rasa ingin tahunya luar biasa, kadang aku kewalahan (lebih tepatnya kebingungan J ) menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Pernah iya bertanya “pak, bapak pung agama kenapa islam?”....... Jechfli Dethan, lahir di Dusun Loudano, 5 April 2004, anak dari bapak Jahuda Dethan dan ibu Yusti Dethan – Giri. Iya biasa di panggil Je’i. Anak yang memiliki daya tangkap sangat cepat dibandingkan teman-temannya yang lain, pelajaran apapun pasti dia yang duluan mengerti (namun paling cepat pelajaran matematika). Karena terlalu sering aku mengulang pelajaran untuk teman-temannya yang lain, iya biasa mendekatiku perlahan dan membuka buku pelajaran dan bilang “pak beta belajar ini sa (menunjuk halaman buku)”. Di antara semua siswa laki-laki di juga yang paling sabar. Di dalam kelas iya biasa tiduran di bawah kolong meja, sambil menunggu temannya yang terlambat menyelesaikan soal. Yanti Yumina Nggadas, anak yang memiliki kecerdasan Intrapersonal ini lahir di Dusun Oenitas 19 Juli 2004, terlahir dari pasangan bapak Herman Nggadas dan ibu Silfina Nggadas. Anaknya sangat cerewet dan sangat sering bertanya, dia sangat jujur di kelas. Jika tidak mengerti pelajaran iya biasa langsung angkat tangan dan menyampaikannya, Yanti juga paling tahu kalo bapak gurunya sedang lelah. Iya pernah bilang “eh bosong (kalian) diam dolo bapak su pusing tuh....”. Iya jarang masuk sekolah karena sering di suruh menjaga adiknya yang masih kecil. Olfiana Giri, lahir di dusun Loudano 17 Oktober 2003 anak dari bapak Simon Giri dan Elfi Giri – Pe’y. Dirumahnyalah aku sering memberi les untuk anak-anak dusun Loudano, awalnya iya pemalu, namun setelah rumahnya aku kunjungi aku sangat akrab dengan dia. Olfi selalu menjadi juru bicara bagi teman-temannya (yang perempuan), juga memiliki daya tangkap yang lumayan cepat. Sayangnya iya sering sakit-sakitan, sehingga kadang tidak masuk sekolah. Olfi bercita-cita untuk menjadi dokter. Maros Marlin Lodo Loasana, lahir 3 Februari 2004 anak dari bapak Derek Lodo Loasana dan Esi Lodo Loasana. “Maros pung cita-cita menjad i Artis... !!!!” itu yang iya katakan di depan teman-temannya. Jika aku perhatikan dia memang punya bakat (aku sering membayangkan Mira Lesmana kecil ada di kelas lewat dia), di kelas dia paling pede menempelkan gambar-gambarnya. Bahkan iya pernah menggambar karikatur ketika aku sedang mengajar di kelas, stylish dan selalu rapih itulah Maros. Noldi Boboy, lahir 6 November 2002 anak dari bapak Dandel Boboy dan ibu Efranci Mbeo. Orang tuanya sudah pisah, iya kini di asuh oleh orang tua Me’a (Adrianus Boboy). Di awal-awal aku di Oenitas, dialah anak yang pertama meminta diajari dan sering membangunkan aku lewat ketukan jendela kamar. Karena kekurangan kasih sayang orang tua, di sekolah iya paling sering mencari perhatianku dengan bermacam-macam tingkah laku. Kadang jika aku pulang sekolah terlambat, Noldi menungguku sambil bersembunyi di balik pohon. Jika jalan bersama iya pasti dibelakangku, saat mencuci di sumur iya juga yang membantu menimba air, kadang juga iya bercerita tentang apa yang dia alami di rumah. Bad boy emphati, and he’s dream to be a soldier one day. Elna Boboy, lahir di dusun Oenitas 10 Juni 2004 anak dari bapak Manasye Boboy dan ibu Rosalina Boboy – Mboro. Paling sering menggambar bunga, belajar apapun pasti buku catatannya ada gambar bunga. Kemampuan visual-spasialnya cukup lumayan, Elna juga sangat peduli dengan teman-temannya. Di kelas iya paling sering meminjamkan ballpoint untuk teman-temannya, mengajari temannya, serta lebih stylish dari maros J. Yanti Rondo, lahir di dusun Ma’ambota 7 Januari 2004, anak dari bapak Isakh Rondo dan ibu Elisabet Giri. Iya sering dipanggil Mina oleh temannya, lebih senang bermain bersama anak laki-laki atau kelas yang lebih tinggi. Mina sangat percaya diri dengan hasil kerjanya sendiri dan punya bakat sebagai pemimpin. Ketika mengunjungi rumahnya aku melihat dia sedang membantu ibunya di kebun sayur, semoga saja suatu saat dia menjadi pakar pertanian dan mengembangkan daerahnya. Noman Rondo, lahir di dusun Ma’ambota 6 November 2003, anak dari bapak Adolof Rondo dan ibu Filfince Mboro. Di kelas, Noman hampir tidak pernah alpa menyebutkan “Amerika”, iya juga sangat senang jika aku ceritakan atau melihat video-video tentang kota-kota dunia. Dengan kemampuan kinestetis yang iya miliki, Noman bercita-cita menjadi seorang walikota kupang. Anak ini hiperaktif, iya tidak bisa duduk diam ditempatnya lebih dari sepuluh menit, soal-soal iya selalu selesaikan dengan terburu-buru. Memiliki suara paling keras di kelas, dan termasuk anak paling rapi. Fery Alexander Nggadas, lahir di dusun Oenitas 13 Juni 2001, anak dari bapak Yulius Nggadas dan ibu Tersia Nalle. Ale’ nama panggilannya, anak yang memiliki kemampuan intrapersonal dan interpersonal. Dia anak yang paling senang membantu saya di sekolah, jika bel berbunyi Ale’lah yang selalu memanggil teman-temannya untuk segera masuk ke kelas. Walaupun masih belum hapal huruf dan belum bisa menulis, namun iya sudah mengetahui banyak kosa kata bahasa Indonesia. Di kelas iya menjadi penterjemah ketika temannya berbahasa daerah. Ferdi Ruben Nggadas, lahir di Oenitas 8 Februari 2002, anak dari bapak Yakob Nggadas dan ibu Amelia Nalle. Murid laki-laki paling sabar di kelas ini sangat senang dengan pola (apapun bentuknya), iya sangat mudah menangkap pelajaran jika disajikan dalam bentuk pola. Tahun ini adalah tahun kedua Ruben di kelas tiga. Revin Rondo, lahir di dusun Ma’ambota 28 April 2004, anak dari bapak Ferdinan Rondo dan ibu Sepriana Mboro. Murid yang senang belajar matematika dan bahasa indonesia, dia paling senang menyanyi, selalu ingin menjadi yang terbaik, senang memimpin do’a di depan kelas, iya bercita-cita menjadi prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dialah murid yang langsung mengatakan siap menjadi tentara setelah kuperlihatkan video tentang Kopassus. Kristo B. Sine, anak laki-laki yang baru saja yatim, bapaknya meninggal pertengahan september yang lalu. Kristo sangat senang jika menjadi pemimpin (khusunya di kelas), jika mengerjakan sesuatu ia selalu ingin kelihatan berbeda. Beni Pandie, Tahun ini merupakan tahun keduanya di kelas tiga. Pelajaran matematika sangat mudah iya pahami, namun jika sudah berhubungan dengan abjad iya mulai kesulitan. Iya sudah jadi yatim sejak usia enam tahun, ibunya meninggal ketika iya masih kelas satu. Sejak ibunya tak ada iya mulai tidak fokus lagi di sekolah dan kurang diperhatikan oleh sang bapak. Beni anak berbahasa angka. Itulah cerita enam belas muridku, mereka semua punya warna, punya cara ekspresi yang berbeda, dengan segala tantangan yang ada mereka masih semangat untuk tetap bersekolah. Dari enam belas ini aku belajar sangat banyak, tiap hari selalu saja ada kejutan berbeda yang mereka berikan. Namun kejutan-kejutan itu ternyata adalah pelajaran yang mereka berikan secara tersirat, akupun percaya jika semua anak adalah juara seperti kata pak Munif Chatib. Aku mengibaratkan mereka sebagai cahaya putih, namun karena pengaruh spektrum cahaya mereka berpendar menjadi beberapa warna yang ternyata jauh lebih indah jika kita menyelaminya. Enam belas itu mengajariku dengan bahasa “jiwa” dan tulisan “hati”. *Kumpulan fotonya bisa diliat di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun