Perjalanan Indonesia dalam menapaki kehidupan sebagai sebuah negara bangsa yang modern sudah memakan waktu 72 tahun lebih. Pada usianya yang semakin beranjak matang itu, Indonesia masih terus berupaya mewujudkan cita-citanya sebagaimana telah dirumuskan oleh para founding fathers dan telah dimuat dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di mana salah satunya ialah untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Ya, kesejahteraan masyarakat dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pada akhirnya memang menjadi cita-cita puncak atas didirikannya negara ini. Namun untuk mencapai cita-cita itu, layaknya menaiki sebuah tangga, kita harus terlebih dahulu melewati satu per satu anak tangga sebagai suatu prasyarat yang harus dipenuhi.
Seperti halnya dengan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Keduanya bisa diwujudkan apabila kita terlebih dahulu telah melaksanakan tata kelola pemerintahan secara baik (good governance), terutama dalam hal pengelolaan keuangan negara.
Pengelolaan keuangan negara secara bertanggung jawab menjadi hal yang fundamental karena akan berkaitan dengan bagaimana pembangunan secara nasional dijalankan, bagaimana kondisi kesehatan perekonomian negara, dan bagaimana monitoring pelaksanaan pembangunan dilakukan, serta bagaimana hasil-hasil pembangunan itu kemudian dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat.
Telah Dipikirkan Sejak Awal
Mengingat begitu pentingnya persoalan keuangan negara, para pendiri bangsa ini bahkan telah merumuskan mekanisme pengelolaannya sejak awal negara ini dibentuk.
Terkait hal ini, kita bisa melacaknya pada risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), khususnya yang disampaikan oleh Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar pada 13 Juli 1945. Dalam rancangan Undang-Undang Dasar itu telah termaktub ihwal keuangan negara pada Pasal 24, bahwasanya "anggaran penghasilan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dalam Undang-Undang".
Mohammad Hatta, ekonom yang memang dikenal sangat berhati-hati dan cermat dalam mengelola keuangan itu, diminta untuk menyiapkan rancangan tentang keuangan negara. Ia kemudian memberikan beberapa usulan penting, salah satunya adalah perihal dibentuknya badan yang memeriksa tanggung jawab pemerintah dalam mengelola keuangan, yang dibentuk terlepas dari pengaruh pemerintah namun juga tidak berdiri di atas pemerintah.
"Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang." Paparnya. Usulan yang sangat baik itu pun tak ayal langsung disetujui oleh peserta rapat dan dimasukkan ke dalam bab VIII UUD 1945 hal keuangan, pasal 23 ayat 5 dan mengalami penambahan kalimat "Hasil pemeriksaan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat".
Namun meski keberadaannya sudah ditetapkan dalam UUD 1945, BPK ternyata tidak dapat langsung dibentuk, karena pada saat itu keadaan  negara masih belum menentu. BPK baru bisa berdiri pada 1 Januari 1947 yang didasarkan didasarkan pada Penetapan Pemerintah 1946 Nomor 11/Um tanggal 28 Desember 1946.
Penetapan ini memuat dua hal, yaitu pertama, mendirikan BPK mulai tanggal 1 Januari 1947 serta menetapkan tempat kedudukan badan ini sementara waktu di Magelang (tanggal 1 Januari kemudian ditetapkan sebagai hari lahir BPK, yang artinya pada 2018 ini BPK sudah berusia 71 tahun).
Kedua, menetapkan bahwa sebelum ada aturan baru tentang kewajiban, susunan, dan cara kerja BPK, maka peraturan mengenai Algemeene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintahan Belanda) (Aritonang, 2009:26). Aturan lebih lanjut tentang BPK kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK.
Dalam perkembangannya, BPK terus mengalami berbagai dinamika. Di antaranya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, di mana kedudukan BPK yang menjadi bagian dari pemerintah. Presiden Soekarno pada saat itu bertindak sebagai Pemeriksa Agung, sementara ketua BPK berkedudukan sebagai Menteri yang berada di bawah komando presiden. Dengan kondisi seperti itu, keruan saja posisi BPK menjadi lemah dan kurang bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Pelemahan peran BPK kemudian berlanjut pada era Orde Baru. Meski BPK telah diposisikan sebagai lembaga negara yang berada di luar pemerintahan, namun peranannya direduksi melalui pembatasan objek pemeriksaan, cara atau metode pemeriksaan, maupun isi dan nada laporan pemeriksaan.
BPK di Era Reformasi: Semakin Bebas dan Mandiri
Barulah kemudian setelah angin reformasi berembus, posisi dan peran BPK kembali menguat. Amandemen UUD 1945 menjadikan BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri. Tak hanya itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK juga menjadi isyarat keseriusan negara dalam mengelola keuangan dan memperkuat peran BPK sebagai lembaga negara yang bebas, mandiri, dan profesional dalam menciptakan kondisi pemerintahan yang bersih.
Pascareformasi, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, kemudian diresmikan oleh Presiden. Adapun pimpinannya dipilih oleh dan dari anggota. Mengenai laporan pemeriksaan, jika dulu harus dikonsultasikan dulu dengan pemerintah sebelum akhirnya diserahkan ke DPR, pascareformasi laporan pemeriksaan bisa langsung disampaikan ke DPR/DPRD tanpa perlu konsultasikan terlebih dahulu dengan pemerintah. Sedangkan apabila terdapat indikasi tindak pidana korupsi, sekarang BPK bisa langsung melapor kepada kepolisian, kejaksaan, atau KPK, bukan malah melapor kepada pemerintah seperti yang terjadi sebelum era reformasi.
Adapun mengenai lingkup pemeriksaannya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab negara yang dilakukan oleh BPK meliputi tiga aspek.
Pertama, pemeriksaan keuangan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka memberikan penyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Opini termaksud ialah meliputi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), opini Tidak Wajar (TW), dan Menolak Memberikan Pendapat.
Kedua, pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan ini didasarkan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan internal pemerintah. Beberapa contoh program yang diperiksa kinerjanya oleh BPK di antaranya adalah penyelenggaraan program JKN, penyelenggaraan ibadah haji, pengusahaan jalan tol, pengelolaan penempatan dan perlindungan TKI, keluarga bencana dan pembangunan keluarga,pengelolaan layanan kesehatan, penanggulangan bencana, dan lain sebagainya (lihat IHPS II tahun 2016). Â
Ketiga, pemeriksaan dengan tujuan tertentu yakni pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan keuangan dan kinerja. Kita mungkin masih sangat ingat, pemerintah Indonesia akhirnya menargetkan kesepakatan dengan PT. Freeport Indonesia (PTFI) mengenai divestasi saham sebesar 51 % untuk kepemilikan nasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti dikutip Detik Finance memastikan 51 % saham PTFI akan dimiliki Indonesia.
Target itu, barangkali tidak akan masuk dalam fokus agenda pemerintah Indonesia bila BPK tidak melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas kontrak karya PT. Freeport Indonesia pada 2013-2015 lalu.
Pemeriksaan tersebut menghasilkan beberapa temuan di antaranya: pembayaran iuran tetap, royalti, dan royalti tambahan oleh PT. FI besarannya ternyata tidak disesuaikan dengan tarif terbaru sehingga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (2009-2015) senilai US$445,96 juta atau sekitar 5.8 triliun, hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui deviden PTFI, dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan manajemen PTFI karena sampai tahun 2015 kepemilikan saham pemerintah di PTFI belum optimal (IHPS 1 Tahun 2017).
Perlu diketahui pula, berdasarkan rekapitulasi hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan sepanjang tahun 2005-2016, BPK telah berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 70,19 triliun rupiah. Hal ini semakin membuktikan bahwa dengan adanya upaya pemeriksaan yang baik, saksama, dan sungguh-sungguh oleh BPK, kemungkinan hilangnya uang negara baik yang disebabkan oleh korupsi, ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang, ketidakefektifan program, maupun inefisiensi anggaran, dapat semakin diminimalisasi.
BPK dan Kesejahteraan Rakyat
Oleh karena itu, upaya yang lebih progresif mengenai pemeriksaan keuangan negara ini perlu terus diadakan dan dilakukan. Sehingga kemudian, memperkuat peran BPK sebagai satu-satunya lembaga di luar pemerintah yang bertugas memeriksa tanggung jawab dan pengelolaan keuangan negara, saat ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Karena hingga sekarang tindak pidana korupsi, inefisiensi anggaran, dan ketidakefektifan program masih menjadi masalah besar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia.
Korupsi masih menjadi penyakit paling berbahaya bagi negara ini dan bahkan terbukti telah mengacaukan tatanan kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Rakyat bisa semakin menderita karenanya. Ini karena uang negara yang seharusnya digunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi rakyat, malah hanya digunakan untuk memperkaya diri oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab (koruptor, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai perampok/maling).
Nah, pada wilayah inilah posisi BPK dapat dikatakan rawan terhadap berbagai ancaman, terutama dari pihak-pihak yang memiliki niat merampok atau menyelewengkan uang negara. Sehingga apabila posisi BPK tidak kuat, maka BPK akan kalah daya. Eksesnya, manfaat uang negara jadi tidak bisa dirasakan oleh rakyat dan ini sangat berbahaya mengingat dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal, seperti yang pernah terjadi di era krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Di samping itu, efektivitas program, efisiensi anggaran, dan kepatuhan lembaga, BUMN, BUMD terhadap peraturan perundang-undangan juga sangat membutuhkan peran yang kuat dari BPK. Karena dalam hal ini pun, kondisinya juga tak kalah rawan bagi BPK, terutama ketidakefektifan, inefisiensi, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan memang sengaja dilakukan oleh oknum-oknum tertentu demi meraup keuntungan pribadi dari kondisi tersebut.
Penguatan dari dua sisi
Upaya penguatan BPK dapat dilakukan melalui dua cara, yakni upaya dari dalam (diri BPK sendiri) dan dari luar (publik). Upaya penguatan dari dalam BPK meliputi peningkatan anggaran, jumlah pegawai, dan yang lebih utama adalah peningkatan integritas, independensi, dan profesionalisme pegawai, auditor, anggota, dan pimpinannya. Hal ini sangat penting untuk diupayakan agar BPK di kemudian hari semakin mendapatkan dukungan dan kepercayaan yang besar dari rakyat.
Di samping itu, seperti halnya KPK yang mendapatkan dukungan begitu kuat dari rakyat, BPK pun hendaknya demikian. Ini merupakan bagian upaya penguatan BPK dari luar. Karena tidak bisa tidak, upaya BPK dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara secara tertib, efisien, efektif, transparan, dan bertanggungjawab sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat. Sekurang-kurangnya, rakyat memiliki kepercayaan yang besar terhadap BPK, sebagai menjadi lembaga yang benar-benar independen, berintegritas, dan profesional.
Demikian pula dari arah sebaliknya. Masyarakat Indonesia mulai saat ini juga harus mulai membuka mata dan hati terhadap keberadaan BPK, yang pembentukannya bahkan telah dipikirkan pembentukannya sejak awal negara ini didirikan dan BPK bukan sekadar institusi pemerintahan, melainkan lembaga negara yang keberadaannya diatur langsung dalam UUD 1945.
Kita sebagai masyarakat harus paham bahwa peran BPK jauh lebih luas dari sekadar memberantas tindak pidana korupsi yang telah terjadi, tetapi lebih dari itu, BPK berupaya mencegah agar tidak terjadi korupsi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara.
Kita juga harus paham bahwa BPK selalu berupaya agar setiap program yang dilakukan oleh pemerintah benar-benar dijalankan secara efektif, efisien, dan memiliki nilai kebermanfaatan bagi masyarakat.
Kita harus paham bahwa keberadaan BPK secara langsung dapat membantu kehidupan kita. Karena apabila pengelolaan keuangan negara dilakukan sudah dilakukan secara bertanggungjawab, maka sudah barang tentu akan semakin bermanfaatlah uang itu dan pada akhirnya dapat semakin meningkatkan kesejahteraan kita; rakyat Indonesia. Walakhir, dengan adanya BPK kawal harta negara, uang negara semakin bermanfaat dan kesejahteraan rakyat kian meningkat.
Referensi
_______.1998. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia
Aritonang,Baharuddin. 2009. Orang Batak Memandang BPK. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
_______.2017. Mengenal lebih dekat BPK, Sebuah Panduan Populer. Jakarta: Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK RI
Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2017 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2016 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang  Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H