Di tangannya, pisau cukur yang sangat tajam itu telah membuat rambut di kepala pria berbadan kekar dan besar di depan saya sedikit-demi sedikit berubah menjadi gundul. Saya mengamati dengan hati berdesir. Imajinasi saya bekerja dengan begitu liar, membayangkan jika terjadi ini dan itu. Bagaimana kalau tiba-tiba tukang cukur itu lalai dan pisau menggores kulit kepala pelanggannya? Lalu kulit kepala laki-laki itu tersayat, berdarah, dan suasana menjadi keruan serta membuat saya selalu terbayang pada luka dan darah ketika melihat orang dicukur.
Ah tidak, tukang cukur itu terlihat sangat berkonsentrasi. Ia mengerok rambut pelanggannya dengan sangat tenang, terukur, dan lembut. Tak ada percakapan di antara mereka. Di ruangan berukuran 2 x 3 meter yang terletak di sisi barat perempatan Bugisan itu hanya terdengar suara baling-baling kipas angin mini dan suara deru kendaraan. Ditambah bunyi klakson yang saling bersahut saat lampu hijau menyala pada detik pertama.
Untuk meredam imajinasi agar tidak semakin liar, saya kemudian mengarahkan pandangan pada dinding ruang cukur sederhana itu. Pada bagian kiri ruangan, tepat di depan pintu masuk, terdapat sebuah foto seorang kiai dari Surabaya. Demikian pula pada bagian pojok kanan, ada foto seorang kiai sepuh lain yang juga berasal dari Surabaya. Keduanya sepertinya dalam hubungan bapak dan anak, itu terlihat dari nama belakang yang tertera pada foto tersebut. Dan di antara dua foto itu, terpajang tulisan "Allah", ayat kursi, dan "Muhammad" dalam huruf Arab.
Saya jadi teringat rumah makan-rumah makan yang biasanya juga memajang foto-foto sosok tertentu. Ada yang tentara, polisi, hingga tokoh agama. Dalam ilmu strategi, itu merupakan cara pemilik usaha untuk mendeklarasikan diri siapa sosok di belakang usaha tersebut. Sehingga terkadang, itu akan menjadi alarm bagi bagi pelanggan, aparat keamanan, pesaing bisnis, dan para preman apabila ingin melakukan sesuatu.Â
Hal itu tentu sah-sah saja dan semua orang berhak melakukannya. Seperti halnya dilakukan oleh kerabat TNI yang memasang atribut penanda TNI di kendaraan mereka. Seperti pula dilakukan oleh sosok tertentu yang menyertakan namanya di bagian belakang nama anaknya. Serta seperti halnya dilakukan oleh para pemeluk agama, suku tertentu, dan bahkan bangsa untuk menyertakan nama yang berkaitan dengan identitas keagamaan, kesukuan, dan kebangsaan.
Beberapa lama kemudian, objek pandangan mata saya sudah habis. Akhirnya mata saya kembali mengarah kepada tukang cukur. Mencukur gundul ternyata membutuhkan waktu lebih lama, konsentrasi dan tenaga ekstra. Saya melihat tukang cukur jadi berkeringat. Kipas angin mini di atasnya tidak cukup membantu menghalau keringat di badannya. Sampai terlihat keringat telah membasahi punggungnya.
Lalu saya mencoba mengamati lebih jeli. Kali ini pada orang yang tengah dicukur. Ia tampak sangat tenang. Pasrah. Menurut pada kehendak dan arahan tukang cukur. Kepala yang mungkin selalu dijaga martabatnya dari sentuhan orang lain itu, kini seakan telah dipasrahkan kepada tukang cukur dengan sepenuhnya.
Karena tidak membawa HP dan koran lokal yang tersedia di ruang cukur tidak cukup menarik untuk saya baca, pikiran saya pun kemudian menerawang pada hal lain. Pertama-tama pikiran saya tertuju pada kenangan saat hendak naik pesawat. Sebelum naik, saya tak berpikiran macam-macam, misalnya memastikan bahwa tidak ada baut yang kendor dan apakah pesawat dalam kondisi layak terbang atau tidak.
Saya juga kemudian membayangkan ketika dulu akan naik kereta. Saya sama sekali tidak berpikir bahwa kereta yang akan saya tumpangi akan bermasalah, mengalami kecelakaan, dan lain sebagainya. Begitu juga ketika saya hendak naik bus. Saya sepenuhnya percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
Sebagai calon penumpang, tentu akan sangat repot sekali kalau misalnya setiap orang yang akan menumpang kendaraan harus terlebih dahulu memastikan apakah kendaraan itu beres atau tidak. Memastikan bahwa di jalan nanti akan terjadi sesuatu yang buruk atau tidak. Calon penumpang sepenuhnya percaya, bahwa dengan kendaraan itu mereka akan sampai ke tujuan dalam keadaan selamat sentosa.
Demikianlah ketika kita sudah menaruh kepercayaan kepada seseorang, sesuatu, atau kepada dzat tertentu. Kita hanya bisa berlaku pasrah dan berharap bahwa dengan itu semua sesuatu akan baik-baik saja. Namanya juga sudah percaya.