Si murid menerima bekal dari gurunya dan walau dalam hati merasa tidak puas karena tak mendapatkan jawaban, ia langsung menuruti perintah gurunya. Setelah memohon undur diri, ia bergegas meninggalkan kediaman sang guru. Sambil terus berharap di perjalanan pulangnya nanti, ia akan menemukan jawaban atas persoalan yang tengah dihadapinya.
Tetapi di sepanjang perjalanan, tak ia temui sesuatu pun kecuali para pelintas jalan seperti dirinya. Bahkan ketika akhirnya ia sampai di rumah, jawaban itu masih belum juga ia dapatkan. Malam itu ia merasa sangat gelisah.
Tengah malam ia bersembahyang. Setelah selesai, ia lanjutkan dengan bersemadi. Memanggil ingatannya selama tiga purnama yang lalu. Disisirnya satu per satu perbuatan, ucapan, dan pikirannya selama itu.
Tetapi hasilnya tetap nihil. Ingatannya berkhianat. Tak bisa memberikan cerita apa pun padanya. Hingga kemudian ia jatuh tersungkur di lantai. Rasa lelah dan kantuk memenangkan tubuhnya.
***
Laki-laki tua itu menangis tersedu-sedu. Entah apa yang ditangisinnya. Namun yang pasti suara tangisannya terdengar begitu keras di ruang sembahyang umum yang memang sedang sepi. Si murid yang juga hendak melakukan sembahyang pun mampu mendengar dengan jelas suara tangisan laki-laki itu.
"Orang ini pamer. Seperti tidak bisa menangis di tempat sembahyang pribadi saja sampai harus menangis di tempat sembahyang umum seperti ini." si murid menghardik di dalam hati.
Merasa agak terganggu, ia pun bersembahyang agak jauh dari tempat lelaki tua itu sedang duduk. Dan seperti biasa, ia pun kemudian bersembahyang dengan sangat khusyuk.
***
Si murid terkesiap dari tidurnya. Seketika ia langsung menyadari kesalahannya dan lalu menginsyafinya. Dengan sepenuh hati.
Dalam hati ia berencana, esok pagi-pagi sebelum berangkat menemui gurunya, ia ingin terlebih dahulu mencari lelaki tua itu dan meminta maaf padanya. Dan tiba-tiba air matanya keluar dengan begitu deras membanjiri pipinya. Si murid bergembira. Kini air matanya telah kembali.