Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jumat pada Suatu Siang

8 Desember 2017   11:16 Diperbarui: 8 Desember 2017   11:25 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar via makassar.tribunnews.com

Jumat, Pada Suatu Siang

Panggilanmu berkumandang lantang mengundang orang-orang untuk datang--istirahat sejenak dari perjalananku yang (mungkin) masih begitu panjang.

Berduyun-duyun kami membasuh diri

agar suci kepala hingga kaki; lidah dari ucapan tanpa faedah, kepala dari pikiran yang selalu ingin mendua, laku kaki-tangan dari kesia-siaan.

Di rumahmu, siang ini

kami duduk takzim dengarkan petuah

jauhi larangan laksanakan perintah

Sebagai bekal ketika nanti

Kaupanggil kami untuk menghadap kembali.

Jogja, (2017)

Kumandang Azan Zuhur

Seperti siang yang tak pernah terlambat datang, suara azan zuhur tak pernah telat berkumandang. Ia selalu menggema saat matahari berada tepat di atas kepala sehingga tubuhmu tak lagi punya bayang-bayang.

Bagi para pedagang, suara azan zuhur ibarat penanda agar mereka segera meninggalkan perniagaannya kepada manusia. Lalu berganti berniaga kepada Ia Yang Maha Kaya.

Kumandang azan zuhur adalah kabar baik bagi para buruh. Sehingga mereka dapat menyeka peluh dan melemaskan otot-otot yang kaku hingga kendur. Seraya mengisap rokok dan berbicara melantur.

Kumandang azan zuhur adalah pertanda bagi para petani untuk segera pulang ke rumah menjumpai anak dan istri: di meja makan melahap hasil tanamannya sendiri. Hingga masing-masing beristirahat sejenak, agar nanti bisa bekerja kembali.

Kumandang azan zuhur tak pernah bisa terdengar di ruangan para bos-bos besar, di lantai-lantai tertinggi gedung-gedung yang melangit di tengah kota yang selalu sibuk dan menjerit. Suara kumandang azan zuhur tak pernah sampai pada orang-orang yang berwaktu dan berhati sempit.

Tapi ia selalu terdengar di gang-gang sempit, di hati orang-orang yang terbaring sakit, dan di telinga orang-orang yang nasibnya terhimpit.

(2017)

Memelihara Kebahagiaan

Sore itu, di beranda rumahnya, seorang ayah terlihat tengah duduk berdu dengan anaknya yang baru saja menikah.

Sang ayah bertanya, "Apa yang kamu rasakan setelah menjadi seorang suami, Nak?"

"Tentu saja bahagia Ayah," jawab sang anak ringan.

"Hanya itu?" Tanya sang ayah mencoba memastikan.

"Iya. Hanya itu ayah." Tegas sang anak. Kali ini lebih mantap. Disertai anggukan.

Sang ayah terdiam sejenak. Lalu menghela napas panjang dan kemudian berkata, "Kalau begitu, pelihara terus rasa itu. Jaga dan jangan kamu biarkan ia hilang. Karena saat ini pun, ayah juga masih merasakan apa yang kamu rasakan."

Mendengar pesan ayahnya barusan, sang anak kemudian tertegun. Lidahnya kelu.

Pertanyaan yang selama ini memenuhi benaknya telah menemukan jawaban. Pertanyaan tentang mengapa di rumah itu, ia selalu merasa damai dan rindu. 

Di Kota Ini, Mencari Sunyi

Di kota ini tak lagi kutemukan sunyi orang-orang berlomba-lomba meraih riuh
diiringi debar dada yang bergemuruh mencari hari

Di kota ini aku sulit mendengarkan bunyi
yang murni dan alamiah
tergantikan suara-suara mesin yang kepadanya pula orang-orang menyembah

Di kota ini, aku bersaksi keramaian kian dipuja oleh manusia yang makin lama
makin sepi jiwanya

Di kota ini, aku juga bersaksi
kesunyian makin dicari
oleh orang-orang yang terjaga dari mimpinya dan lalu bergumam "Di kota ini, tak seharusnya aku mencarinya.".

(2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun