Mbah, hari ini engkau berkicau kepada pengikutmu (yang kebanyakan di antara mereka adalah bangsaku) di Twitter, agar hendaknya peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, atau erupsi gunung yang terjadi di Indonesia tidak disebut sebagai bencana. Lalu engkau menyodorkan kata yang kesannya lebih bijak, misalnya "Sabda Alam".
Oke Mbah. Sebelumnya kuucapkan terima kasih atas sumbang saranmu untuk bangsaku; Indonesia. Semoga ini akan menjadi modal diplomatik yang baik antara Negara Republik Jancuker dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun ketahuilah Mbah, pandanganmu itu tidak akan menyelesaikan persoalan yang sedang menimpa manusia di negaraku. Lagi pula, tampaknya engkau juga terlalu menyederhanakan persoalan. Engkau memaknai kejadian-kejadian alam yang terjadi di Indonesia beberapa hari ini hanya dalam kacamata sebab-musabab-ontologis semata. Dan karenanya, sebagai perwakilan negara yang baik, aku merasa berhak memberikan klarifikasi.
Jadi begini Mbah, mengapa peristiwa alam itu kemudian kami sebut sebagai bencana?
Untuk menjawab pertanyaanku ini, Mbah bisa terlebih dahulu menengok sejenak di Yutub, media-media daring, atau grup-grup WA.
Setelah peristiwa alam itu terjadi apa yang dialami oleh manusia di negaraku?
Kematian Mbah. Kesakitan. Hilangnya harta. Rusaknya rumah. Dan trauma.
Itu semua loh Mbah yang disebut bencana. Jadi sederhannya, yang kami sebut sebagai bencana itu adalah dampak yang dialami oleh manusia ketika terjadi peristiwa alam yang Mbah sebut sebagai cara mereka mencapai keseimbangan baru melalui proses fisika-kimia yang logis itu.
Apakah dengan begitu berarti kami menyalahkan alam?
Tidak Mbah. Sama sekali tidak. Karena kami sadar bahwa itu semua merupakan risiko. Aku yakin, Mbah percaya bahwa manusia dan alam itu hidup berdampingan. Bersosial. Nah, bukankah dalam proses hidup berdampingan itu, saat masing-masing sedang melakukan aktivitas, juga memunculkan risiko Mbah?
Jangankan kok antara alam dengan manusia, antara manusia dengan manusia saja begitu kok. Iya kan Mbah? Makanya di negaraku selain ada istilah bencana alam, ada pula istilah bencana sosial.
Jadi, kami sama sekali tidak menyebut erupsi gunung, banjir, longsor dan lain-lain sebagai bencana, tapi risikonyalah yang kita sebut sebagai bencana. Sampai di sini aku menganggap Mbah sudah tidak salah persepsi lagi ya soal bangsaku.
Tapi masih ada lagi nih Mbah yang ingin kusampaikan.
Begini Mbah. Agaknya Mbah kurang mengetahui perkembangan pemikiran bangsa Indonesia tentang kebencanaan. Kebanyakan di antara kami sekarang ini sudah mulai sadar lo Mbah bahwa bencana itu bukan murni sebagai dampak dari peristiwa alam semata. Lebih dari itu, kami juga mulai paham bahwa bencana juga (lebih banyak) disebabkan oleh kesalahan manusia ketika menjalin hubungan dengan alam.
Untuk membuktikannya, Mbah bisa membaca jurnal-jurnal hasil penelitian akademisi di negeriku terkait kebencanaan. Hanya saja memang, kuakui juga, dalam praktiknya para pemilik modal itu kurang memperhatikan hal ini. Termasuk pemerintah, mereka juga sering kurang memedulikan hal tersebut. Begitulah Mbah kalau nafsu keserakahan sudah merajai jiwa penerintah dan para pemilik modal. Bisa hancur semuanya. Tapi perkara ini ada baiknya kita bicarakan nanti saja. Karena masih ada hal lain yang juga ingin kuklarifikasi.
Dalam cuitanmu, engkau juga berargumen bahwa dengan sebutan bencana kegiatan memindahkan manusia jadi disebut mengungsikan.
"Seolah2 manusia adalah pemilik ruang dan waktu. Dgn sebutan SABDA ALAM, kegiatan itu disebut mengembalikan ruang dan waktu pd alam utk nanti kita pinjam lagi," katamu.
Astaga Mbah. Aku hampir saja tidak percaya bahwa yang mengatakan itu adalah dirimu. Karena sepemahamanku selama ini, engkau begitu cerdas dan mampu memaknai segala peristiwa dengan secara esensial.
Begini Mbah. Mengungsikan manusia dari titik rawan bencana di negaraku sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep penguasaan ruang dan waktu. Ini hanyalah soal penyelamatan nyawa manusia Mbah. Untuk memperkecil risiko. Itu saja. Sesederhana itu.Â
Atau kalau mau menggunakan persepsi yang sering dan baru saja engkau tawarkan itu, mengungsikan manusia hanyalah merupakan upaya membiarkan atau bahkan menghormati alam menyelesaikan proses mencapai keseimbangan barunya itu Mbah. Kalau proses itu sudah selesai, barulah manusia kembali ke tempat tinggalnya, itu pun kalau masih memungkinkan. Karena kan biar bagaimanapun manusia harus punya tempat tinggal yang layak to Mbah.Â
Jadi ini bukan soal klaim penguasaan ruang dan waktu seperti yang Mbah tuduhkan. Mbah jangan berprasangka buruk gitu dong. Karena kalau Mbah terus-menerus berpikir seperti itu, artinya Mbah sedang merasa menyelamatkan alam tapi memusnahkan manusia. Dan itu manusia Indonesia. Jelas aku tidak terima.
Tapi meskipun begitu aku sangat sepakat dengan ajakanmu agar sebaiknya kami mengubah mencari cara berpikir kami untuk lebih sopan terhadap alam. Sebagaimana dalam hubungan, kesopanan memang sangat penting. Saling menghargai dan menghormati merupakan hal yang sangat mendasar. Aku seribu persen sepakat. Tapi kalau soal yang lain, ya itu tadi klarifikasiku.
****
Oh iya Mbah, gara-gara cuitanmu itu aku jadi penasaran dengan sistem administrasi negaramu. Di negaramu, kalau sedang terjadi peristiwa alam apa yang dilakukan oleh rakyatnya?; Yang dilakukan oleh pemerintahnya?
Atau jangan-jangan di negaramu peristiwa alam tidak berisiko bagi manusia karena kehidupan keduanya sudah saking selarasnya?
Kalau benar demikian, sungguh aku ingin studi banding ke negaramu, Mbah.
Oh iya Mbah, satu lagi. Rakyat Indonesia menunggu bantuan dari negaramu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI