Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ada Bakti dan Cinta Dalam Setiap Kerokan

26 November 2017   21:37 Diperbarui: 26 November 2017   22:18 1843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak dan ibu saat berfoto bersama anaknya yang ketiga berserta keluarga pada lebaran lalu. (Dok.pri)

Bunyi srok-srok-srok-srok itu sampai sekarang masih lekat dalam ingatanku. Bunyi itu berasal dari canting yang kukerokkan di punggung ibu ketika ada terlalu banyak angin di dalam tubuhnya.

Canting itu sendiri mulanya adalah sebuah kaleng susu yang oleh ibu kemudian digunakan sebagai alat penakar beras. Secanting beras jika dikonversikan beratnya 250 gram, sehingga untuk menakar 1 kg beras tinggal dikalikan empat.

Kini, canting itu telah berubah warna menjadi kehitam-hitaman karena saking lamanya digunakan dan menjadi benda yang teramat penting di rumah kami sebab dapat menjadi alat pengusir rasa sakit yang ditimbulkan karena masuk angin.

Dibandingkan koin, kerokan dengan  menggunakan canting memang terasa lebih enak. Rasa sakit yang ditimbulkan tidak begitu terasa. Di samping itu, ada bunyi yang hasilkan dari setiap kerokannya, karena canting memiliki rongga. Bunyi yang sangat puitis.

Dari Hubungan Transaksional Berubah Menjadi Ungkapan Bakti

Hubunganku dengan ibu bisa dibilang sangat dekat. Mungkin karena aku adalah anak bungsu. Tapi mungkin juga karena ada hal lain, yang tentu sangat sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Atau mungkin itu tak akan bisa dijelaskan? Demikianlah, sebagai seorang anak atau seorang ibu, Anda mungkin juga merasakan yang demikian itu.

Sejak kecil (usia SD) aku sudah sering dimintai tolong oleh ibu untuk mengeroki punggungnya ketika ia sedang masuk angin. Tetapi dulu, aku melakukannya bukan karena ingin menolong ibu, melainkan karena tergiur upah yang dijanjikannya. Sekali kerokan, dulu ibu memberiku uang Rp100. Aku senang karena dapat uang, dan kelebihan angin di tubuh ibu pun hilang.

Namun seiring semakin bertambahnya usiaku, mengerokinya bukan lagi soal mendapatkan imbalan, melainkan soal bagaimana agar aku bisa melihat ibu tetap dalam kondisi sehat. Karena melihatnya sakit, masygullah perasaanku. Sedihlah hatiku.  

Terlebih kini, sejak enam tahun lalu, intensitas pertemuan kami sudah semakin jarang. Aku di Jogja, ibu di Lampung. Aku hanya bisa pulang setahun sekali. Sehingga kemudian, kerokan menjadi momen istimewa nan puitik antara aku dengan ibu. Aku sangat senang melakukannya, walau aku tidak senang kalau ibu masuk angin. Mauku, ibu tetap baik-baik saja. Biarlah angin-angin itu masuk ke dalam tubuhnya dalam jumlah wajar. Karena tidak mungkin bukan di dalam tubuh manusia tidak ada anginnya? Hehe.

Kerokan Cinta Dari Ibu

Aku masih sangat hapal suara itu. Suara srok-srok-srok-srok itu terkadang juga berasal dari gesekan antara canting dengan tubuhku, oleh bantuan tangan ibu. Karena aku pun juga sering masuk angin. Dan kerokanlah satu-satunya obat yang telanjur kami yakini dan telah kami buktikan kemanjurannya.

Pada saat pulang lebaran beberapa bulan lalu, aku dikerokinnya beberapa kali. Ah, ibu memang selalu begitu. Sekecap kata saja aku mengeluhkan ada yang tidak beres dengan tubuhku, atau ia mendengar aku terbatuk-batuk dan bersendawa secara terus-menerus, ibu akan langsung menawariku untuk kerokan.

Di Jogja, aku pun sebenarnya tidak luput dari yang namanya masuk angin dan kerokan tetap sebagai cara pertama untuk menyembuhkannya. Tetapi di sini, aku tidak pernah meminta tolong orang lain untuk mengerokiku. Karena itu terasa menyakitkan. Tak seperti kerokan ibu. Cukuplah bagiku swakerok saja, di bagian dada. Namun hal itu justru membuat rinduku pada ibu terasa semakin membuncah, walau efek kerokan tetap sama-sama bisa menyembuhkan masuk anginku.

(Baca juga cerita pengalamanku tentang kerokan di sini)

Dari Minyak Tanah hingga Balsam

Dalam tradisi 'pengusiran' kelebihan angin di dalam tubuh kami, canting tidak bekerja sendiri, melainkan bersama minyak tanah. Minyak tanah berfungsi sebagai cairan pelumas dan dioleskan pada bagian yang akan dikerok. Tetapi sebenarnya minyak tanah itu sendiri tidak hanya berperan sebagai pelumas kerokan, lebih dari itu minyak tanah juga dipercaya dapat mengusir berbagai macam penyakit seperti masuk angin, panu, kadas, kurap, dan penyakit kulit lainnya.

Tetapi sejak medio tahun 2000-an, kami nyaris tidak pernah lagi menggunakan minyak tanah sebagai pelumas kerokan. Karena minyak tanah sudah sangat langka dan sulit didapat. Sebagai gantinya kami menggunakan balsam yang memang selalu ada di rumah kami. Keluarga kami merupakkan pengguna fanatik balsam Galiga karena rasa panas yang ditimbulkan benar-benar luar biasa. 

Namun dulu sebelum balsam Geliga ini keluar, tampaknya ibu juga merupakan pengguna fanatik Balsem Lang berwarna hijau (oleh ibu biasa disebut apison) yang memang merupakan produk lawas dan lebih senior dibanding balsam Geliga. Terbukti, bekas wadah balsam itu sampai kini masih ada dan digunakan untuk menyimpan benda-benda kecil seperti kancing baju dan paku payung mini. 

Balsem Lang yang sangat cocok digunakan untuk kerokan (Dok. https://www.caplang.com)
Balsem Lang yang sangat cocok digunakan untuk kerokan (Dok. https://www.caplang.com)
(Baca cerita pengalamanku yang tidak jadi mabuk kendaraan berkat pertolongan Minyak Kayu Putih Aromatheraphy)

Karena keberadaan balsam itulah, ibu, bapak, dan kakak-kakakku nyaris tidak pernah pernah minum obat. Karena keluarga kami memang jarang ada yang sakit. Kalaupun sakit, paling-paling hanya masuk angin atau pegal-pegal linu, yang kesemuanya itu akan selesai dengan olesan Balsem sesaat sebelum tidur.

Balsam Otot Geliga yang selalu menjadi obat capek (Foto.https://www.caplang.com)
Balsam Otot Geliga yang selalu menjadi obat capek (Foto.https://www.caplang.com)
Di samping itu, mungkin kondisi geografis dan aktivitas sehari-harilah yang membuat bapak, ibu, dan kakak-kakakku jarang sakit. Sebagai orang desa yang bekerja sebagai pedagang dan petani, tentu aktivitas sehari-harinya cukup berat dan mengeluarkan keringat. Seperti orang berolahraga. Sehingga secara fisik, mereka sudah terlatih untuk lebih kuat dan tahan terhadap penyakit. Kondisi lingkungan desaku juga terbilang masih asri. 

Tapi tak hanya itu. Gaya hidup tradisional di keluargaku masih sangat kental. Di antaranya ibu masih sering membeli jamu beras kencur, kunir asem, dan jamu godog sebagai minuman kesehatan badan. Karenanyalah, walau kini Ibu sudah berusia 68 tahun, dan Bapak sepuluh tahun di atasnya; 78 tahun, alhamdulillah, semuanya masih segar, bugar, dan sehat walafiat. 

Bapak dan ibuku pada momen lebaran lalu saat foto bersama anaknya yang keenam berserta keluarga. (Dok.pri)
Bapak dan ibuku pada momen lebaran lalu saat foto bersama anaknya yang keenam berserta keluarga. (Dok.pri)
Bapak dan ibu saat berfoto bersama anaknya yang ketiga berserta keluarga pada lebaran lalu. (Dok.pri)
Bapak dan ibu saat berfoto bersama anaknya yang ketiga berserta keluarga pada lebaran lalu. (Dok.pri)
Bapak ibuku saat berfoto bersamaku dan kakakku yang nomor 8. (Dok. Daris)
Bapak ibuku saat berfoto bersamaku dan kakakku yang nomor 8. (Dok. Daris)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun