Ketika lampu kuning telah menyala, kebanyakan dari kita akan memilih untuk mempercepat laju kendaraan, walaupun sebenarnya lampu tersebut mengisyaratkan kepada kita untuk bertindak sebaliknya dan kemudian berhenti.Â
Pilihan untuk melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan, karena jika kita berhenti justru akan menjadi lebih berbahaya. Bisa ditabrak dari belakang, misalnya. Kecuali kalau memang kondisi jalanan sedang sepi atau pengendara di belakang kita kemudian memilih untuk tidak menerobos lampu kuning.Â
Saya pun sering menjadi pelaku penerobos lampu kuning ini sebagaimana saya juga pernah dengan kesadaran yang tinggi memilih untuk bertindak sebaliknya. Masing-masing memiliki alasan rasional dan moralnya.
Atau kita ambil kasus lain. Misalnya ketika dalam sebuah acara yang telah diagendakan dimulai pada pukul 07.00 pagi. Kebanyakan dari kita kemungkinan akan memilih untuk datang lebih dari waktu yang telah ditentukan, jam 07.30 atau jam 08.00 misalnya, karena berasumsi pasti acara akan molor dan baru akan benar-benar dimulai pada pukul 08.00.Â
Dan benar saja, ternyata acara memang baru benar-benar dimulai pada pukul 08.00. Dengan demikian, orang-orang yang datang tepat waktu, mereka justru akan menjadi orang yang merugi karena acaranya molor.Â
Sementara orang-orang yang terlambat justru diuntungkan karena selama jeda waktu tersebut mereka bisa melakukan banyak hal.
Fenomena semacam itu, oleh akademisi Universitas Gadjah Mada Akhmad Akbar Susamto disebut sebagai fenomena masyarakat salah insentif (misincentive society),yakni situasi di mana orang-orang terbaik justru mendapatkan hukuman sementara orang-orang buruk justru mendapatkan penghargaan atau keuntungan.
Kondisi semacam itu banyak terjadi dalam kehidupan kita. Seperti misalnya pada lingkungan birokrasi pemerintahan, partai politik, organisasi kemasyarakatan, bahkan dalam institusi pendidikan. Pengangkatan Zaskia Gotik sebagai Duta Pancasila, misalnya, merupakan contoh paling miris dalam fenomena masyarakat salah insentif ini.Â
Idealisme, kebaikan, ketepatan waktu, kebenaran, dan kejujuran sampai dengan hari ini masih belum dapat diterima dengan baik. Sebaliknya, mereka yang ingin berpegang pada hal-hal semacam itu, justru kemudian dikucilkan, dihambat karirnya oleh atasan, dijauhi, dan mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan.Â
Dan hal itu kemudian menjadi sebuah arus besar dan kita acapkali ikut terseret dalam arus tersebut yang pada akhirnya menjadi sebuah "budaya" komunitas.
Membalik Arah Arus
Meski demikian, arus besar itu bukan tidak mungkin untuk kita ubah. Cara paling utama untuk mengubah arus tersebut adalah dengan mengembalikan insentif yang salah tadi sebagaimana seharusnya. Artinya, kita mulai harus berkompromi pada orang-orang yang berbeda itu dan kemudian memberikan insentif kepada mereka.Â
Memperbanyak apresiasi terhadap orang-orang semacam itu dapat menjadi langkah yang sangat berguna bagi kehidupan sosial kita. Dalam hal ini kemudian kita akan butuh lebih banyak apresiator.
Sebagai ilustrasi, misalnya, acara benar-benar dimulai pada pukul 07.00 meskipun yang datang baru satu orang. Bisa juga dengan tidak memperbolehkan orang-orang yang terlambat itu untuk mengikuti acara tersebut.
Atau kalau contoh itu terlalu ekstrim, kita bisa menggantinya dengan memberi penghargaan kepada orang yang telah datang tepat waktu itu.Â
Penghargaan dapat berupa pujian ataupun pemberian hadiah kecil-kecilan dan diberikan di depan publik. Tentu jika hal-hal semacam itu yang kemudian dilakukan, hasilnya akan berbeda.
Dan karena ini soal membalik arah arus besar, maka dibutuhkan energi yang besar pula. Oleh karenanya, ini harus menjadi sebuah gerakan komunal. Karena kalau cuma sendiri-sendiri saja tidak akan mampu.
Jogja, 04 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H