Di Fesbuk saya punya cukup banyak teman. Seperti halnya gado-gado, mereka sangat beragam baik dari segi karakter, agama, budaya, bahasa, orientasi seksual, pilihan politik, dan tentu saja status asmaranya.
Selama ini di antara mereka tampak baik-baik saja dan berbahagia. Semuanya bermedia sosial sebagaimana normalnya. Status-status yang mereka bagikan pun hanya seputar kegembiraan-kegembiraan kecil keseharian macam foto makanan, buku bacaan, meme-meme lucu, selfi di tempat wisata, atau status bijak/nasihat dari para pesohor. Sebagai temannya, tentu kemudian energi kebahagiaan itu menular kepada saya. Â
Namun belakangan ini saya mengamati ada yang berbeda dengan mereka. Situasi politik di negeri ini telah memecah mereka menjadi dua golongan : kelompok pembenci dan kelompok pemuja sosok tertentu. Dan lagi-lagi sebagai temannya, walaupun telah berusaha sekuat mungkin untuk netral dan menahan diri, toh energi kebencian dan pemujaan itu tetap menular ke saya.
Memang tidak terlalu parah, tapi jujur itu telah membuat energi saya sedikit terkuras. Hal-hal yang seharusnya tidak saya pikirkan, menjadi terpikirkan juga. Saya jadi ‘terpaksa’ bertabayun dan mengklarifikasi berita-berita yang mereka bagikan. Saya jadi ‘terpaksa’ mencari informasi pembanding untuk ‘membuktikan’ status, berita, komentar yang telah mereka bagikan. Puncaknya, ketika saya merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu sudah sangat berlebihan, hal-hal yang selama ini tidak pernah saya lakukan pun, akhirnya ‘terpaksa’ saya lakukan juga, yakni berhenti mengikuti kiriman mereka --untuk tidak sampai memutus tali pertemanan dan memblokirnya. Karena saya pikir, saya harus menyayangi diri saya sendiri.
Tapi sampai di sini saya terkadang merasa bingung juga, mengapa orang-orang itu bisa sedemikian bencinya kepada seseorang?
Hal yang sama juga membuat saya terheran-heran, kok bisa ya mereka begitu mengidolakan seseorang sampai setiap hari ia tak berhenti menyebut tokoh yang diidolakan.
Dan lebih lucunya lagi, rata-rata orang yang mereka puja atau benci itu hanyalah sekelas politisi, bukan nabi.Â
Bayangkan, cuma politisi loh.
(Tentu saya tak akan berani mempermasalahkan jika yang mereka idoalan adalah Rasul atau Nabi. Sebaliknya, saya justru akan semakin senang karenanya.)
Padahal sebagaimana kita tahu, kebencian itu rentan melahirkan rasa tidak adil. Pun demikian dengan pemujaan, ia adalah awal dari tumbuhnya rasa cinta yang buta. Hal ini yang tampaknya dilupakan teman-teman Fesbuk saya. Tanpa mereka sadari, kini di setiap lelaku hidup mereka lebih didominasi oleh rasa benci dan cinta yang buta. Fokus mereka hanya kepada sosok-sosok yang dibenci dan dipujanya. Apa pun yang terjadi di dunia ini mereka sangkutpautkan dengan idola atau orang dibencinya. Sehingga kemudian mereka berubah menjadi sosok yang gampang baper. Akibat terburuknya, kemampuan berpikir jernih seperti yang didakwahkan Cak Lontong ketika mengiklankan Sprite pun jadi terkikis. Akal sehat jadi sering tak terpakai.
Saya bisa menulis begini karena saya dulu pernah mengalaminya. Menjadi manusia pembenci ataupun pemuja itu benar-benar tidak enak. Hanya bikin baper. Hanya bikin perasaan jadi makin sensitif dan otak jadi makin tidak rasional.
Sekarang ini pun saya masih menyimpan rasa benci itu. Hanya saja telah bergeser objeknya, bukan seseorang melainkan sesuatu. Yakni kepada sebuah papan reklame restoran taman yang terpajang di sepanjang jalan yang sering saya lewati. Pemasangan papan iklan tersebut memang berlebihan. Di mana-mana ada. Bahkan walaupun restorannya masih berada di 40 KM pun, iklannya sudah terlihat. Konon restoran tersebut telah mendapatkan piagam rekor MURI karena iklan-iklan tersebut.
Nah, karena rasa benci itulah anehnya saya jadi malah semakin sensitif dengan keberadaan iklan tersebut. Perhatian saya jadi sering tertuju pada iklan-iklan itu.
Dari situ saya kemudian percaya bahwa antara rasa benci dan cinta itu memang sangat tipis jaraknya. Kedua rasa itu kadang membuat kita tak benar-benar mengerti apa yang terjadi.Â
Loh..kok jadi mirip lirik lagunya Naif?
Loh kok iya ya?
Oh…pantesan.
Ketika menuliskan ini, saya memang sambil mendengarkan lagunya Naif yang Benci Untuk Mencinta itu. Tak terhitung lagi untuk yang keberapa kali, karena saya sudah mengatur lagu tersebut untuk diputar secara berulang-ulang secara otomatis.
Intinya hati-hati saja, karena bisa jadi rasa benci itu adalah rasa cinta yang tak diakui. Begitu juga sebaliknya, rasa cinta yang buta adalah awal dari rasa benci yang paling purna.Â
Saya sudah mengalaminya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H