Sekarang ini pun saya masih menyimpan rasa benci itu. Hanya saja telah bergeser objeknya, bukan seseorang melainkan sesuatu. Yakni kepada sebuah papan reklame restoran taman yang terpajang di sepanjang jalan yang sering saya lewati. Pemasangan papan iklan tersebut memang berlebihan. Di mana-mana ada. Bahkan walaupun restorannya masih berada di 40 KM pun, iklannya sudah terlihat. Konon restoran tersebut telah mendapatkan piagam rekor MURI karena iklan-iklan tersebut.
Nah, karena rasa benci itulah anehnya saya jadi malah semakin sensitif dengan keberadaan iklan tersebut. Perhatian saya jadi sering tertuju pada iklan-iklan itu.
Dari situ saya kemudian percaya bahwa antara rasa benci dan cinta itu memang sangat tipis jaraknya. Kedua rasa itu kadang membuat kita tak benar-benar mengerti apa yang terjadi.Â
Loh..kok jadi mirip lirik lagunya Naif?
Loh kok iya ya?
Oh…pantesan.
Ketika menuliskan ini, saya memang sambil mendengarkan lagunya Naif yang Benci Untuk Mencinta itu. Tak terhitung lagi untuk yang keberapa kali, karena saya sudah mengatur lagu tersebut untuk diputar secara berulang-ulang secara otomatis.
Intinya hati-hati saja, karena bisa jadi rasa benci itu adalah rasa cinta yang tak diakui. Begitu juga sebaliknya, rasa cinta yang buta adalah awal dari rasa benci yang paling purna.Â
Saya sudah mengalaminya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H