Pada beberapa kesempatan, saya kadang tidak begitu percaya kalau ada pihak (atau bahkan hasil penelitian) Â yang mengatakan bahwa minat baca (buku) masyarakat itu rendah. Ada banyak hal yang mendasari ketidakpercayaan saya terhadap hal itu, misalnya ketika saya mendengar kesaksian para pegiat pustaka di daerah-daerah terpencil yang menyatakan bahwa antusias mereka terhadap buku sangatlah tinggi. Atau setelah saya membaca sebuah berita di Kompas.com berikut ini [Minat Baca Orang Pedalaman Lebih Tinggi daripada Orang Kota]. Dan hari ini (15/09), ketika saya mengunjungi bazar buku murahdi Gedung Gramedia Jln. Sudarsan Cakra 197 Maguwoharjo, Sleman, Jogja.
Bazar buku murah yang akan berlangsung sampai dengan tanggal 30 September tersebut, berhasil mendatangkan ribuan pengunjung dari berbagai kalangan masyarakat; bapak-bapak tua, mamah-mamah muda, anak-anak sekolah, mahasiswa uzur dan pemula, karyawan swasta, penganggur, aktivis, dan lain sebagainya. Kesemuanya tumplek blek dalam ‘hutan buku’ terbitan grup Gramedia.  Mereka seolah merasa ‘tak apa meski harus berjejal, sesak, dan menghirup bau keringat pengunjung lain, yang penting bisa mendapatkan buku-buku murah dan berkualitas terbitan grup  Gramedia.
Ya, berkunjung dan berburu buku di sini memang sangat membutuhkan perjuangan. Tak terkecuali dengan saya sendiri, yang baru hari ini beroleh kesempatan untuk masuk ke gudang bersama ribuan pengunjung lainnya. Sebelumnya, pada Sabtu (10/9) lalu, untuk pertama kalinya saya mengunjungi bazar buku ini, setelah melihat sebuah postingan di grup Facebook Info Cegatan Jogja. Begitu melihat postingan tersebut, saya langsung bergegas ke lokasi. Pukul 10.15 saya tiba di sana setelah sempat nyasar beberapa kali karena memang tempat tersebut masih sangat asing bagi saya.
Namun ternyata hari itu saya belum beruntung. Saya tak bisa masuk karena sudah terlampau banyak pengunjung. Membludak. Bahkan kalau boleh saya katakan secara hiperbolis, keramaiannya melebihi audisi SUCI KompasTV. Bahkan untuk menyiasati hal tersebut, sampai dilakukan sistem buka tutup oleh pihak penyelenggara.
Saat itu, sebelum pulang saya bertanya kepada petugas keamanan kapan bazar akan buka lagi setelah libur idul Adha. Selasa Mas, katanya kala itu. Akhirnya, meski agak kecewa, mau tak mau saya tetap bersetia hati untuk menunggu. Terlebih setelah saya bertanya kepada seorang pengunjung perempuan yang menenteng satu kardus buku belanjaannya.
Berapaan mbak harganya?
Lima ribuan semua Mas, jawabnya dengan senyum yang sangat semringah. Ia tampak sangat bahagia hari itu. Dan saya yakin kebahagiaannya itu karena buku-buku itu, bukan karena telah ditanyai seorang pemuda seperti saya.
Setelah mendapatkan jawaban-jawaban di atas, akhirnya saya pun pulang dengan rasa penasaran, gatal, dan gemes yang terus-menerus membayang di benak.
Lima ribuaaaaan, buos, Â bayangken!!!
Pada hari Selasanya, karena tak mau kehilangan kesempatan lagi, saya berangkat lebih pagi ke lokasi bazar, sekitar pukul 07.10 saya sudah sampai di sana. Tak lupa, saya mengajak dua orang teman yang juga sama-sama ngidam pengin beli-beli itu buku.
Namun ya allah, betapa terkejutnya saya begitu mendapati sebuah tulisan pengumuman bahwa bazarr buku baru akan dibuka lagi pada hari Kamis (15/09), karena menurut keterangan dari petugas keamanan sedang akan ada penataan ulang. Tapi untungnya hari itu saya tidak sendiri, ada dua teman saya yang kecele. Juga puluhan pengunjung lain yang sudah rela datang pagi-pagi seperti kami. Mereka rata-rata tak tahu dengan pembaruan informasi pada Sabtu sore bahwa bazar baru akan dibuka lagi pada hari Kamis.
Dan tadi pagi, bersama seorang kawan, saya berangkat mruput lagi ke lokasi bazar. Kami datang pukul 07.30, dan anehnya di lokasi sudah ada banyak orang yang menunggu. Padahal bazar buku baru akan dimulai pada pukul 09.00. Artinya kami harus menunggu selama satu jam tiga puluh menit.
Saya yakin, antusias masyarakat untuk mendatangi bazar buku ini adalah karena buku-buku tersebut dijual dengan sangat murah. Buku biasa lima ribu, komik dua ribu lima ratus rupiah. Padahal buku-bukunya masih terbilang sangat bagus. Seperti buku-buku berikut ini misalnya.
Namun terlepas dari hal di atas, akan terlihat betapa masih tingginya antusiasme masyarakat kita (termasuk generasi muda) terhadap buku. Sebab tujuan membeli buku pasti untuk dibaca, bukan? Okelah kalaupun ada yang untuk dijual, sekadar buat koleksi, atau hanya untuk postingan di media sosial sekalipun, pasti suatu saat nanti --seiring hadirnya hidayah pada yang bersangkutan--, buku-buku tersebut akan dibaca juga. Atau setidaknya, jika kalimat di atas masih dirasa kurang pas, minimal bisa kita katakan bahwa interaksi masyarakat terhadap buku masihlah terbilang tinggi—di tengah gegap gempita kemajuan teknologi digital yang disinyalir semakin menjauhkan kita dengan buku. Â
Anda tertarik berburu buku (murah)? Sini ke Jogja aja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H