Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pelajaran dari Tukang Sayur: Mewujudkan Cita-cita Anak Itu Harus Diangsur

11 September 2016   17:06 Diperbarui: 11 September 2016   22:07 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pedagang Sayur Keliling/ Via infopublik.id

Namanya Aan Kunaidi. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjual sayur keliling. Sebelumnya, ia berprofesi sebagai tukang ojek di Simpang Way Tuba, namun seiring dengan semakin banyaknya orang yang memiliki hape, penumpang pun lama-kelamaan menjadi sepi karena rata-rata mereka telah dijemput oleh sanak famili.

Kondisi itulah yang mendorongnya untuk segera banting setir menjadi penjual sayur keliling dengan bermodalkan uang tiga ratus ribu rupiah yang dimilikinya kala itu, pada tahun 2007.

Ilustrasi Pedagang Sayur Keliling/ Via infopublik.id
Ilustrasi Pedagang Sayur Keliling/ Via infopublik.id
Sejak sebelum subuh, biasanya ia sudah berangkat ke pasar induk Kota Martapura Oku Timur untuk belanja sayuran. Perjalanan yang cukup jauh, sekitar 20-an kilo meter dari kampung kami di Way Tuba. Pukul 8 pagi ia sudah pulang dengan membawa sekeruntung penuh sayur mayur dan berbagai macam bumbu-bumbu dapur.

Setelah beristirahat sejenak, sekira pukul 9 ia berangkat lagi berkeliling menjajakan sayurannya di sebuah kampung yang terbilang masih pelosok di kecamatan Way Tuba, yakni kampung Bumi Dana. Tak hanya menjual sayuran, ia juga menjual apa pun yang kira-kira bisa laku sebagai tambahan. Es batu, es balon, kacang hijau, beras, sampo, sabun, buku tulis, pakaian sekolah, atau bahkan ayam kampung sekalipun. Keruntung (hasil modifikasi) di motornya penuh dengan dagangan, selayak warung berjalan.

Sebagai informasi, saat itu akses menuju kedua kampung tersebut sangatlah memprihatinkan. Kondisi jalannya buruk (ada yang bertanah liat dan ada yang berbatu sebesar kepala manusia), naik turun dengan tebing curam di sisi-sisinya, sepi, dan gelap. Sementara kondisi kampung Bumi Dana sendiri belum dialiri jaringan listrik, belum ada pasar, dan jarang ada pedagang yang mau masuk ke sana.

(Padahal pendapatan penduduk di kampung tersebut cukup tinggi karena saat itu harga coklat dan karet masih berada di atas angka 12 ribu per kilonya dan sawit masih di atas seribu per kilonya. Hal itu tentu saja berimbas pada pola konsumsi masyarakat yang menjadi lebih tinggi)

Saya dapat menyaksikan perjalanan hidupnya dari dekat sekali, karena ia adalah kakak ipar saya sendiri. Selepas saya lulus SMK pada tahun 2010, karena masih belum juga mendapatkan pekerjaan, saya sering kali ikut berdagang dengannya. upahnya lumayan, cukup membuat saya senang waktu itu. Apalagi kalau pas ada hiburan organ tunggal atau layar tancap, saya lebih senang lagi. Karena selain mendapatkan uang saya juga bisa mendapatkan hiburan. Sambil menyelam dapet ikan.

Ternyata selama saya membantunya, diam-diam ia melakukan penilaian terhadap kinerja saya. Melihat kecakapan saya dalam berdagang, saat itu ia sempat berencana memodali saya untuk menjadi pedagang sayur juga. Karena di saat yang sama ia juga mulai kewalahan dalam melayani kebutuhan pelanggannya.

Namun sayang, saat itu saya lebih memilih untuk merantau ke Jogja, melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda setahun lamanya. Meski agak kecewa, ia terlihat sangat menghargai keputusan saya,  bahkan sangat mendukung. Asal serius kuliah dan nggak main-main, katanya. Dari situ saya menyadari, betapa ia sangat peduli terhadap pendidikan seseorang. Mungkin karena ia ‘hanyalah’ lulusan SMP, sementara ayuk saya 'hanya' lulusan SD. Atau dengan kalimat lain, kami memang berasal dari latarbelakang keluarga dengan pendidikan yang rendah. 

Hingga akhirnya, pada bulan Juli 2011, saya berangkat ke Jogja untuk mewujudkan cita-cita saya dan ia kembali berjuang seorang diri melayani kebutuhan pelanggannya setiap hari. Bekerja fulltime dari pagi hingga petang. Melintasi jalan yang ‘aduhai’ dan sering membuat ban bocor. Menembus gelap dengan pemandangan pohon sawit dan karet sepanjang 20-an kilo meter. Belum lagi kalau musim hujan, ia pun menjadi sering kelimpungan.

Ia Mengangsur Cita-cita Bersama AJB Bumiputera

Saat saya mudik lebaran tahun 2012, saya terhenyak ketika mendengar ia telah memiliki polis tabungan beasiswa untuk anak sulungnya yang masih berusia empat tahun. Rasa parno terhadap hal-hal semacam itu, yang pernah menimpa beberapa tetangga di kampung, seketika menghadirkan kekhawatiran dalam diri saya. Takut kalau-kalau ia kena tipu orang.

Tapi begitu saya mendengar kalau yang menawarinya adalah seorang guru PNS di SD Way Tuba, saya merasa cukup  lega. Setidaknya kalau ada apa-apa enak nyarinya. Juga dekat karena masih tetangga sendiri. Tak hanya itu, kelegaan lain juga saya rasakan setelah melihat langsung nama AJB Bumiputera di polis yang dipegangnya.

Tapi bukan karena saya sudah mengenal Bumiputera, melainkan hanya karena saya tahu kantornya yang bertengger di jalan Jenderal Sudirman Jogja dan hanya berjarak segasan motor dari tempat tinggal saya di Asrama Mahasiswa Lampung yang berada di jalan Pakuningratan. Sekali lagi, setidaknya kalau ada apa-apa, saya bisa langsung ke kantornya.

Memang saya akui, saat itu saya masih buta dan memandang sebelah mata soal asuransi ataupun tabungan pendidikan. Dan saya pikir itu karena saya belum mendapatkan cukup pengetahuan tentangnya, terlebih lagi dari sumbernya langsung. Barulah setahun kemudian, di kampus saya mendapatkan mata kuliah soal asuransi hingga membuat pikiran saya semakin terbuka. Mengenai AJB Bumiputera sendiri, saya menilai ia merupakan perusahaan asuransi yang tak perlu diragukan lagi kredibilitasnya.

Proses pendirannya sejak tahun 1912 lalu, saat bangsa Indonesia masih dalam penjajahan, berangkat dari ide besar para tokoh pendidikan; yakni Mas Mas Ngabehi Dwidjosewojo (Sekretaris Budi Oetomo), Mas Karto Hadi Soebroto dan Mas Adimidjojo yang merupakan seorang pendidik, untuk meningkatkan derajat hidup rakyat Indonesia. Bahwa untuk menjadi bangsa yang tangguh dan merdeka, pertama-tama yang harus dibangun adalah kualitas sumber daya manusianya, terutama dari segi kesehatan dan pendidikan. Dasar penilaian saya ini diteguhkan oleh hasil nangkring kompasioner Jogja dengan AJB Bumiputera di Hotel Santika Premier Jogja pada 30 Juli lalu di mana saya menjadi salah satu pesertanya.

Setelah selesai dengan prasangka-prasangka itu, yang muncul dalam benak saya kemudian adalah rasa kagum terhadap kepedulian kakak ipar saya dengan masa depan pendidikan anaknya. Setiap orangtua menginginkan anaknya sekolah tinggi, itu pasti dan lazim sekali kita temui. Sesulit apa pun kondisi hidup mereka, pasti terbersit keinginan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang tertinggi. Namun jika kemudian tidak diiringi dengan perencanaan strategis dan langkah taktis, saya rasa itu hanya mimpi belaka.

Dan kakak ipar saya, Mas Aan, memilih untuk menabung sejak dini dengan tangguan premi sebesar Rp 323.000,00 per tiga bulan --yang berdasarkan pengakuannya itu merupakan angka yang cukup tinggi untuk ukuran orang seperti dia. Tapi demikianlah, ia tetap berusaha dan telah memulai saat anaknya masih duduk di bangku taman kanan-kanak. Hal-hal yang akan ditanggungnya lima belas tahun ke depan (terlihat dari jangka menabung yang ia pilih), sudah dipikirkannya saat itu. Seakan ia tak ingin mewariskan masa lalunya kepada sang anak karena tiadanya perencanaan pendidikan yang matang dari orangtuanya.

Kini Desi anaknya telah berusia sembilan tahun, duduk di kelas 4 SD dan bercita-cita ingin menjadi dokter. Bapaknya mendukung, pun demikian dengan ibunya. Mereka telah berusaha dari sekarang, seolah sadar bahwa bagi orang-orang sepertinya  mewujudkan cita-cita anak itu harus diangsur. Tinggal nanti Tuhan yang akan menunjukkan, memudahkan, menuntun jalannya.

Semoga cita-cita itu terwujud. Bersama Bumiputera dan doa kita semua. Aamiin

 Yogyakarta, 11 September 2016

Nb.

*Kampung Bumi Dana berada di Kecamatan Way Tuba, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung

*Berkenaan dengan bukti Aan Kunaidi sebagai pemegang polis, jika memang dibutuhkan, untuk sementara ini baru bisa saya buktikan dengan nomor polis. Karena saya tidak punya fotonya. Hehe

 

 

Mari berteman juga dengan saya di Facebook atau saling mengikuti di Twitter

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun