Dalam bahasa kita, ini sebangun makna dengan kata 'egosentrisme'. Berbeda dengan egoisme yang 'hanya' membuat pengidapnya berperilaku semata-mata untuk kepentingannya sendiri, egosentrisme dapat membuat seseorang berperilaku lebih dari itu. Egosentrisme berada setingkat di atas egosime. Jadi, para pengidap egosentrisme ini selain egois, ia juga ingin menjadi pusat perhatian atas apa yang telah ia lakukan/katakan. Untuk memperolehnya, ia bahkan tak segan-segan untuk memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangannya terhadap orang lain.
Pada era media sosial seperti saat sekarang ini, disadari atau tidak, gangguan jiwa ini tengah mengintai kita—untuk belum dikatakan telah kita idap. Ini lantaran media sosial telah memberikan ruang yang begitu luas kepada penggunanya untuk selalu tampil ke permukaan/depan (show up), setiap saat, melalui tulisan atau gambar yang dibagikan pemilik akun kepada publik dunia maya.
Media sosial memungkinkan seseorang tampil dengan berbagai rupa : sebagai orang yang menarik, narsis (percaya diri berlebihan), serba tahu, sombong, inferior, terlalu sibuk, terlalu mencintai diri sendiri ataupun sebagai orang yang teraniaya (lemah).
Jadi perlu saya tegaskan, kata “kita” dalam judul di atas merujuk pada para pengguna media sosial.
Tujuannya tentu adalah untuk menarik perhatian banyak orang agar tertuju padanya. Akan menjadi kepuasan tersendiri baginya apabila perhatian tersebut sudah didapatkan (melalui banyaknya like, share, dan komentar berupa pujian), hingga kemudian membuat yang bersangkutan merasa ketagihan. Dan akan menjadi kekecewaan yang teramat dalam apabila yang ia dapatkan justru pengabaian, tombol unlike, hingga bahkan cemoohan (bully) dari orang-orang yang sebenarnya menjadi sasarannya.
Terkait egosentrisme ini, dari kemarin-kemarin saya telah mencoba menelusuri publikasi hasil penelitian di beberapa situ kampus. Dan yang saya temukan ternyata adalah rata-rata egosentrisme ini diidap oleh individu remaja karena berkaitan dengan proses transisi usia, emosi, dan mental. Orang dewasa sangat jarang yang berperilaku egosentris. Meski dalam wilayah lain perilaku ini juga akan muncul tanpa disadari, seperti misalnya di wilayah dunia maya sebagai dunia lain atau dunia kedua kita dalam kehidupan sehari-hari. Ya, di dunia maya, egosentrisme dapat dengan mudah menjangkiti orang dewasa.
Apa pasal?
Karena walaupun secara usia mereka telah cukup dewasa dan secara mental di dunia nyata ia juga telah cukup matang, namun jika dikaitkan dengan cepatnya laju perkembangan zaman, mereka bisa menjadi tidak sedewasa di dunia nyata. Mari kita bayangkan, era media sosial baru booming dalam satu dekade belakangan ini. Dengan demikian orang yang saat ini (di dunia nyata) sudah tergolong dewasa pun, di dunia maya mereka masih dapat digolongkan sebagai seorang remaja yang masih berada pada proses pencarian jatidiri, perubahan emosi dan pendewasaan dalam bermedia sosial
Jadi, jika di dunia nyata Anda merasa sudah cukup dewasa dan matang, jangan berpikiran di dunia maya otomatis Anda bisa seperti itu. Karena sekali lagi, kita ini baru kemarin sore berkenalan dengan media sosial. Ditambah lagi sekarang aplikasi media sosial sangat beragam dan memungkinkan kita semua untuk menjadi seorang yang egosentris. Dikit-dikit selfie, dikit-dikit pamer, dikit-dikit menasihati, dikit-dikit merasa sok tahu, dikit-dikit mengeluh.
Sistem Kapitalisme Global Semakin Mempersubur Individualisme dan Egosentrisme
Kalau ditelisik mundur, egosentrisme ini sangat berhubungan dengan era kepitalisme, di mana persaingan menjadi semakin ketat dan hanya pasarlah yang akan menjadi penentu mekanismenya. Nah, dengan adanya persaingan tersebut maka seseorang akan berlomba-lomba untuk tampil ke permukaan agar dapat memenangkan persaingan tersebut, dengan mengusung branding dirinya masing-masing.
Sekarang ini, semua orang (seakan) dituntut untuk berjuang demi kepentingannya sendiri-sendiri (egois). Lalu lambat laun mereka pun akan didorong untuk berperilaku individualis, di mana masing-masing individu harus merasa lebih berharga ketimbang yang lain sehingga wajib diakomodir segala kepentingannya. Jika tidak, maka mereka akan terus didorong untuk menempuh jalan lain, yakni memunculkan diri ke permukaan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan menggunakan media sosial, agar perilaku individualisnya tersebut dapat terakomodir. Didengar. Diperhatikan. Hingga akhirnya mereka pun menjelma menjadi sosok individu yang egosentris.