Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Ibarat Air, Karena Itu Harus Diatur dari Hulu ke Hilir

28 Mei 2016   05:46 Diperbarui: 29 Mei 2016   14:42 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jam belajar masyarakat/ Ilustrasi rw16karanganyar.wordpress.com

Sejak awal menjabat sebagai Mendikbud, Anies Baswedan selalu mengatakan bahwa pendidikan sejatinya merupakan gerakan semesta yang melibatkan semua. Pendidikan adalah milik dan tanggungjawab bersama,  sehingga harus digerakkan secara gotong royong oleh semua pihak yang membutuhkannya. 

Secara pribadi, saya mendukung gerakan tersebut. Bahwa pendidikan adalah milik dan tanggungjawab semua, itu memang benar. Pendidikan haruslah partisipatif, karena semua membutuhkannya. Dengan adanya gerakan dan penyadaran tersebut, maka dampak yang kemudian akan dirasakan adalah munculnya sikap saling asah dan saling asuh satu sama lain. Anies Baswedan, dalam pandangan saya, mengibaratkan pendidikan sebagai jalan yang harus dibangun secara kolektif-kolegial. 

Tapi saya lebih senang mengibaratkan pendidikan itu adalah air. Air yang akan melepaskan dahaga atas ilmu pengetahuan. Air yang akan menumbuhkan tunas-tunas baru di masa depan. Dan air yang hanya akan menjadi bencana jika tidak diatur sedemikian rupa, dari hulu sampai hilirnya. 

Karena itu, ada beberapa hal yang menurut saya masih mengganjal dan perlu dibenahi seiring dengan digencarkannya gerakan penyadaran pendidikan sebagai tanggungjawab bersama ini. Beberapa hal berikut ini, semoga bisa semakin memperkaya khasanah gagasan tersebut.

Pendidikan Memang Harus Menjadi Tanggungjawab Bersama, Namun Negaralah Penentu Awalnya

Bapak pendiri bangsa Indonesia sudah bersepakat melalui Undang-Undang Dasar 1945, bahwa salah satu cita-cita kemerdekaan dan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Karena dari sanalah jalan menuju kehidupan yang berdaulat, adil, dan makmur dapat dimulai.

Untuk itu, mari kita baca lagi naskah pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada kalimat yang saya cetak tebal, bisa kita lihat bahwa adalah pemerintah negara memiliki peran sentral dalam penyelenggaraan pendidikan. Bila diibaratkan, pemerintah negara layaknya sebuah bendungan yang menjadi hulu aliran air ke seluruh saluran irigasi untuk mengairi sawah-sawah. Dengan demikian, prinsip keadilanlah yang harus dijadikan pedoman. Jika gerakan ini memang bermaksud untuk menumbuhkan nilai-nilai pendidikan yang berasaskan Pancasila, maka sebagai regulator pendidikan negara harus terlebih dahulu mengamalkannya, yakni dengan menetapkan kebijakan pendidikan yang adil bagi rakyatnya.

Tentu ini sangat jauh dari maksud menimpakan tanggungjawab pendidikan kepada pemerintah negara semata, karena lebih dari itu kita ingin melihat sejauh mana komitmen politik pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia dan mampukah pemerintah berlaku adil dalam pengimplementasiannya?

Pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dilontarkan (dan syukur-syukur bisa menjadi bahan refleksi pemerintah) karena akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan. Jika komitmen politik pemerintah terhadap pendidikan —yang kemudian diwujudkan melalui kebijakannya—sudah baik dan dilaksanakan secara adil, maka unsur-unsur lain pun akan semakin mudah untuk mengikutinya.

Bagaimana mungkin sistem pendidikan di Indonesia akan teratur dan terarah sementara –misalnya- cetak biru pendidikan saja tidak punya? Sehingga mengakibatkan begitu politisnya kurikulum pendidikan di negara kita.

Bagaimana mungkin siswa kita akan melek literasi sejak dini, sementara selama ini saja tidak ada kebijakan pemerintah tentang buku-buku sastra wajib baca? Padahal kita semua paham bahwa sastra dapat memberikan banyak pelajaran bagi pembacanya : membukakan hal-hal tabu, melembutkan budi, memberikan nilai estetik, wawasan sejarah, dan membuat pikiran semakin terbuka 

Atau bagaimana mungkin para generasi muda di daerah akan mendapatkan informasi dan akses pendidikan yang sama dengan mereka yang berada di daerah maju, jika pertukaran pelajar (dan guru) antar daerah tidak pernah dilakukan? Selama ini kita terlalu terbuai dengan kemewahan pertukaran pelajar ke luar negeri, sementara siswa lain di daerah untuk bisa belajar di kota besar yang notabene lebih lengkap dalam hal sarana pendidikan saja sulitnya minta ampun.

Oleh sebab itu kita berharap, ke depan pemerintah dapat memperkuat komitmen tersebut mengingat perannya sebagai hulu pendidikan di Indonesia yang akan sangat menentukan arah dan kondisi pendidikan kita.

Sebagai Kepanjangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Juga Harus Mendukung, dong! Keduanya Harus Kompak.

Kekompakan dan Keterkaitan Pemerintah Pusat dan Daerah/Ilustrasi rovicky.wordpress.com
Kekompakan dan Keterkaitan Pemerintah Pusat dan Daerah/Ilustrasi rovicky.wordpress.com

Setelah persoalan di atas terjawab, maka selanjutnya bisa kita lanjutkan dengan menilai komitmen politik pemerintah daerah terhadap pendidikan. Jika mengacu pada ketentuan bahwa ‘kebijakan di daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pusat’ maka seharusnya pemerintah daerah pun juga memiliki komitmen politik yang sama terhadap pendidikan. 

Lagi-lagi, ini masih dalam domain pemerintah pusat untuk bisa mengarahkan pemerintah daerah agar selaras dengan kebijakan pemerintah pusat--yang dapat diwujudkan dengan pembuatan cetak biru pendidikan nasional sehingga ke depan pendidikan di negara kita tidak akan terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat politis dan penunggangan kepentingan. Pun bagi pemerintah daerah, juga harus kooperatif terhadap pemerintah pusat dalam hal pendidikan.

Begitu Juga Dengan Sektor Swasta, Turut Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Juga Harus Menjadi Visinya.

Beasiswa perusahaan/Ilustrasi boagcodes.org
Beasiswa perusahaan/Ilustrasi boagcodes.org

Peran swasta juga tak kalah penting untuk turut memajukan pendidikan di Indonesia. Sebagaimana pemerintah daerah, sektor swasta pun seharusnya juga dapat mengikuti arah kebijakan negara. Salah satu contoh misalnya terkait tanggungjawab sosial perusahaan, harus mengarah pada kemajuan pendidikan masyarakat setempat, sehingga manfaatnya akan benar-benar terasa. 

Selama ini yang sering kita lihat, tanggungjawab sosial perusahaan hanya diwujudkan dengan penanaman pohon dan penanaman pohon—yang mirisnya tanpa diikuti dengan perawatan. Padahal kalau tanggungjawab sosial tersebut diwujudkan dalam bentuk pendidikan, justru dampak yang dihasilkan bisa lebih besar, seperti tumbuhnya kesadaran siswa dan masyarakat untuk melestarikan lingkungan. 

Ayo dong, perbanyak lagi pemberian beasiswanya. Biar semakin banyak lagi putra-putri di Indonesia yang mendapatkan kesempatan belajar sampai jenjang yang tertinggi.

Masyarakat dan Keluarga Adalah Ujung Tombak Pendidikan, Ayo Ikut Ciptakan Suasana yang Kondusif dan Edukatif.

Jam belajar masyarakat/ Ilustrasi rw16karanganyar.wordpress.com
Jam belajar masyarakat/ Ilustrasi rw16karanganyar.wordpress.com

Sekarang tibalah waktunya untuk kita berbicara soal masyarakat hingga kemudian keluarga.

Terkait hal ini, kita bisa belajar pada Kota Jogja melalui gerakan Gerakan Belajar Anggota Masyarakat (Gerbangmas) yang dituangkan dalam Perwal Nomor 53 tahun 2014 tentang penyelenggaraan Jam Belajar Masyarakat (JBM) di Kota Yogyakarta. Gerakan JBM ini dimaksudkan untuk mendorong masyarakat dalam meningkatkan semangat belajar dan menciptakan suasana belajar yang kondusif di lingkungan keluarga. Agar kemudian kegiatan belajar pada malam hari dapat membudaya dan menjadi sarana pendukung dalam upaya peningkatan kualitas dan prestasi pendidikan siswa.

Adapun kegiatannya berupa fasilitasi sarana belajar, pendampingan proses belajar, konsultasi belajar dan penghimpunan dana. Berdasarkan Perwal ini JBM dilaksanakan paling sedikit 2 (dua) jam setiap hari antara pukul 18.00 WIB sampai dengan pukul 21.00 WIB. 

Gerakan ini memang sangat penting untuk dihidupkan (kembali) baik oleh keluarga, masyarakat, maupun pemerintah mengingat manfaatnya yang sangat besar. Gerakan semacam ini adalah bentuk partisipasi masyarakat dan keluarga dalam mendukung pendidikan anak. Sehingga lingkungan masyarakat dan keluarga jadi semakin kondusif dan edukatif.

Saya sendiri pernah merasakannya, dulu sewaktu masih SD-SMP sejak magrib kami sudah harus berada di mushola untuk mengaji sampai habis isya. Sepulang dari mengaji, kami melanjutkan aktivitas belajar di rumah sampai pukul 9 malam. Saya dulu juga sering didatangi teman-teman tetangga untuk belajar bersama, mengerjakan PR, maupun sekadar bermain atau menggambar bersama. Dalam kegiatan belajar tersebut, tak jarang orangtua kami juga ikut nimbrung baik yang tujuannya untuk membimbing maupun yang sifatnya hanya menemani  atau bahkan ikut bercanda.

Namun sayang, kebiasaan tersebut kemudian punah seiring dengan semakin ‘menariknya’ tayangan televisi.  :(

Karena Itu, Televisi Juga Harus Berbenah Diri. Atau Pemerintah Harus Lebih Tegas Lagi

Bagaimana media massa kita sekarang?

[caption caption="Meme guru dibayar rendah/facebook.com"]

[/caption]

Itu adalah pertanyaan penting yang semestinya juga harus kita ketengahkan ketika berbicara pendidikan semesta. Pernahkah Anda melihat sebuah meme "Guru dibayar murah dituntut untuk memperbaiki karakter dan akhlak anak-anak, sedangkan artis sinetron dibayar mahal untuk merusak karakter dan akhlak anak-anak"?. Meme tersebut seharusnya sudah sangat menampar kita tentang bagaimana televisi di Indonesia saat ini. Padahal, kita sendiri juga paham, anak-anak kita sangatlah gemar menonton televisi.

Lha kalau televisi kita semakin jauh dengan misi mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana mungkin pendidikan kita akan maju? 

Kita memang butuh hiburan. Tapi bukan hiburan yang membodohkan.

Dan televisi memang menyediakan hiburan. Namun jika belum mampu menyajikan tayangan yang mencerdaskan, ya jangan menyajikan tayangan yang membodohkan lah. Terlebih lagi jika ditayangkan pada prime time.

Ketahuilah, rakyat Indonesia sedang merindukan tayangan kesadaran dari dunia pertelevisian. Juga ketegasan dari pemerintah selaku pengawas penyiaran. (Maaf jika untuk bagian yang ini terkesan sangat emosional. Penulis memang tergolong orang yang tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Terlebih ketika menulis.)

 

Sebab Masyarakat Sekarang Juga Sudah Berjuang Dengan Caranya Sendiri, Yakni Dengan Mengoptimalkan Kemajuan Teknologi Informasi.

Gadget untuk pendidikan/Ilustrasi mediapencerah.com
Gadget untuk pendidikan/Ilustrasi mediapencerah.com

Sudah bukan zamannya lagi mengeluhkan dampak buruk gadget terhadap pendidikan anak. Namun sebaliknya, kita harus mengoptimalkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media penunjang pembelajaran dan pendidikan. Baik bagi anak-anak, siswa, atau bahkan anaknya tetangga.

Juga Buat Para Output Pendidikan, Ayo dong Kembali Ke Dunia Pendidikan. Bagikanlah Berkah yang Kalian Dapat Dari Pendidikan!

Kembali ke pendidikan/ ilustrasi donnaimelda.com
Kembali ke pendidikan/ ilustrasi donnaimelda.com

Beberapa faktor yang telah saya sebutkan di atas, tak akan lengkap rasanya jika saya tidak menyebutkan produk-produk pendidikan. Selama ini, yang acapkali menjadi orientasi para produk pendidikan kita (sarjana, dll) adalah diri mereka sendiri. Kuliah di universitas negara dengan bantuan beasiswa, lulus, kerja di perusahaan besar, menyamankan hidup, sudah. Sangat sedikit di antara mereka yang kemudian mau terjun atau melibatkan diri ke dunia pendidikan sebagai bentuk imbal jasa atas apa yang telah mereka dapatkan dari pendidikan. Justru yang banyak kita lihat sekarang adalah orang-orang yang tersisih dari pendidikanlah yang kemudian tergerak untuk menghidupkan pendidikan. Ini kan kebalik namanya.

 

Ayo dong Kak, berpendidikan masa' gitu?

Jogja-Blitar 28 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun