Menjadi tidak ketinggalan informasi, terang benderang, dan aktivitas bisa lebih mudah dan cepat, itu memang iya. Namun apakah benar kehidupan yang lebih baik setelah adanya listrik --sebagaimana yang menjadi motto PLN-- hanyalah soal itu?
Pertanyaan demi pertanyaan hadir mengusik batin saya. Hingga kemudian seiring turunnya harga getah karet, saya mulai menemukan jawabannya. Bersamaan dengan mulai terasa beratnya membayar tagihan listrik dan munculnya syak wasangka kepada petugas pencatat kwh meter (demikian kami menyebutnya) dengan tuduhan  tidak benar-benar teliti dalam mencatat. Kami pun kemudian mulai membandingkan besaran tagihan satu sama lain yang memang sangat berbeda dan cenderung terkesan kurang adil, sehingga semakin menambah prasangka kepada PLN, melalui petugas pencatat kwh meter tadi. Keluhan demi keluhan juga selalu bermunculan di setiap bulannya, saat masa bayar tagihan tiba. Kami menjadi gelisah dan tak tenang karenanya. Duh.
Hemat energi perlu sebuah sistem
Apa yang terjadi di kampung saya adalah bukti bahwa ternyata perilaku hemat listrik itu sangat dipengaruhi oleh mentalitas dan kesadaran konsumen. Tapi selain itu,  masih ada hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan, yakni adanya suatu sistem yang menyertainya. Ketiga hal tersebut bisa dirumuskan menjadi :  Hemat Energi = Mentalitas  + Kesadaran + Sistem
Saat listrik pertama kali masuk di kampung kami, PLN baru saja meluncurkan layanan listrik prabayar yang diujicobakan di Bandung[1]. Dan saat itu, kami belum mendapatkan sosialisasi tentang layanan tersebut sehingga satu-satunya layanan listrik yang kami nikmati adalah listrik pascabayar.
Artinya, kami bisa berfoya-foya terlebih dahulu, baru kemudian membayar. Kami seperti sedang dihutangi energi listrik yang berlimpah setiap harinya. Bagi Anda yang pernah punya kartu kredit, pasti merasakan betapa tidak terkontrolnya penggunaan kartu kredit yang berakibat pada membengkaknya tagihan. Contoh lain adalah ketika Anda berhutang, pasti merasakan betapa cepatnya uang hasil berhutang tadi habis, bahkan cenderung akan terasa kurang dan kurang lagi. Dan kemudian terasa berat sekali untuk membayarnya. Â
Itulah yang kami rasakan dulu.
Itukah kehidupan yang lebih baik yang dimaksud? Tentu bukan. Dan saya rasa, terlepas dari itu semua, ada satu harapan besar dari PLN sebagai penyedia energi listrik di negeri ini, yaitu kita bisa menjadi konsumen yang bijak dalam mengelola energi yang ada saat ini. PLN tentu tak pernah berharap hidup kami menjadi gusar oleh karena memikirkan tagihan listrik yang membengkak setiap bulannya; menjadi manusia yang boros energi; kehilangan rasa empati terhadap mereka yang rumahnya belum teraliri listrik; dan abai terhadap masa depan energi untuk anak cucu yang sama-sama berhak atasnya.
Dan itu bisa kita lihat melalui sebuah inovasinya yakni listrik pintar (prabayar)
Listrik pintar (prabayar), sistem pengontrol konsumsi energi listrik
Untunglah kemudian pada awal tahun 2012, melalui perantara tokoh masyarakat dan pemerintah kampung, kami mulai diperkenalkan dengan listrik pintar atau yang lebih dikenal listrik prabayar. Layanan listrik prabayar ini, bisa diilustrasikan sebagai sebuah tabungan. Anda yang punya simpanan tabungan, pasti pernah merasakan betapa sangat berhati-hatinya Anda dalam mengelola uang tersebut. Kalau tidak butuh-butuh amat, tidak akan mungkin digunakan. Uang tabungan ibarat senjata pamungkas; hanya dikeluarkan saat dalam keadaan mendesak. Begitulah listrik prabayar ini, kata mereka selalu saat memberikan sosialisasi kepada kami.