Mohon tunggu...
Agustinus Darto Iwan Setiawan
Agustinus Darto Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN, Blogger

Blogger Plat Merah

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

AI Perlebar Kesenjangan Ekonomi?

30 September 2024   11:24 Diperbarui: 30 September 2024   12:15 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi artificial intelligence (AI) | iStockphoto/David Gyung

Hebatnya AI kita semua sudah paham kan? Di semua lini kehidupan banyak inovasi terdorong oleh adanya AI. Tapi ada pertanyaan yang semakin sering muncul: apakah AI akan memperluas kesenjangan ekonomi? 

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, muncul ketidakpastian tentang siapa yang akan benar-benar mendapatkan manfaat terbesar dari AI. Apakah teknologi ini hanya akan memperkaya mereka yang sudah maju, sementara yang tertinggal semakin terpuruk? Memperkaya semua atau sebagian saja?

Sebelum kita masuk lebih dalam, mari kita tanyakan pada diri sendiri. Apakah AI benar-benar bisa memperlebar jurang antara mereka yang memiliki akses ke teknologi canggih dan mereka yang tidak? Mungkinkah ada jalan tengah yang memungkinkan AI justru menjadi solusi bagi kesenjangan ini? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu kita pikirkan.

Jika kita sempat (atau disempatkan) melihat lebih dekat, masalah kesenjangan ekonomi yang dipicu oleh AI, sebagian besar berakar pada akses yang tidak merata terhadap teknologi. 

Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Jerman, perusahaan-perusahaan besar sudah memanfaatkan AI untuk meningkatkan efisiensi produksi, analisis data, hingga layanan konsumen. Namun, di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, akses terhadap AI masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil.

Contohnya, ketika kita membicarakan penggunaan AI di sektor pertanian, di beberapa daerah maju, petani sudah menggunakan drone bertenaga AI untuk memantau lahan mereka dan memprediksi hasil panen berdasarkan data cuaca dan kondisi tanah. 

Sebaliknya, petani di daerah tertinggal mungkin bahkan belum memiliki akses ke internet yang stabil, apalagi teknologi AI. Kondisi ini tentu saja memperkuat kesenjangan ekonomi antara mereka yang bisa memanfaatkan AI dan mereka yang hanya bisa mengandalkan cara-cara tradisional.

Di Indonesia, kita bisa melihat gejala awal kesenjangan ini di berbagai sektor. Misalnya, di sektor pendidikan. Sekolah-sekolah di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya mulai mengadopsi teknologi AI untuk membantu proses pembelajaran, memberikan rekomendasi materi pelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa, hingga analisis data untuk peningkatan mutu pendidikan. 

Namun, di daerah terpencil, sering kali masih ada masalah infrastruktur dasar seperti listrik dan internet, yang membuat penggunaan teknologi canggih seperti AI menjadi sesuatu yang tak terjangkau. Ini bukan hanya masalah teknologi, tetapi juga masalah kesenjangan sosial yang semakin melebar. Betul kan?

Di sektor tenaga kerja, dampak AI mungkin lebih terasa secara langsung. Teknologi AI telah memicu otomatisasi di berbagai industri, dari pabrik-pabrik hingga layanan keuangan. Proses otomatisasi ini sering kali berujung pada pengurangan jumlah pekerja manusia, terutama di pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin dan manual. Lalu, apa dampaknya terhadap kesenjangan ekonomi?

Dalam jangka panjang, otomatisasi yang digerakkan oleh AI bisa menyebabkan gelombang PENGGANGGURAN, terutama bagi pekerja dengan keterampilan rendah. Mereka yang tidak memiliki pendidikan atau pelatihan yang memadai untuk beradaptasi dengan teknologi ini mungkin akan kesulitan menemukan pekerjaan baru. Sementara itu, mereka yang memiliki keterampilan di bidang teknologi atau mampu bekerja sama dengan AI akan tetap berada di puncak piramida ekonomi.

Di Indonesia, otomatisasi ini mulai terlihat di berbagai industri, seperti manufaktur dan retail. Di pabrik-pabrik modern, robot-robot yang dipandu oleh AI menggantikan tenaga manusia untuk tugas-tugas seperti perakitan, pengepakan, dan inspeksi produk. 

Di sisi lain, banyak pekerja di pabrik-pabrik konvensional kehilangan pekerjaan mereka karena tidak lagi dibutuhkan dalam jumlah besar. Ketika kita berbicara tentang AI dan dampaknya terhadap tenaga kerja, pertanyaannya bukan lagi "apakah otomatisasi akan terjadi," tetapi "seberapa cepat dan besar dampaknya terhadap kesenjangan ekonomi."

Digital Life (Karya sendiri)
Digital Life (Karya sendiri)

Namun, haruskah kita pasrah pada kenyataan bahwa AI akan memperlebar kesenjangan ekonomi? Tentu saja tidak. Ada cara-cara yang bisa kita tempuh untuk memastikan bahwa AI justru bisa menjadi solusi untuk kesenjangan ini, bukan penyebabnya. Salah satu kuncinya adalah pendidikan dan pelatihan.

Pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan perlu bekerja sama untuk menciptakan program-program pelatihan yang membantu pekerja beradaptasi dengan teknologi AI. Ini berarti memberikan keterampilan baru kepada mereka yang terdampak otomatisasi, agar mereka bisa beralih ke pekerjaan yang lebih berfokus pada pengelolaan dan pengembangan teknologi, bukan sekadar pekerjaan manual.

Di Indonesia, beberapa inisiatif sudah mulai dilakukan untuk meningkatkan keterampilan digital masyarakat. Program-program pelatihan coding dan data science semakin populer, terutama di kalangan generasi muda. 

Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa pelatihan ini bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang tinggal di kota besar atau memiliki akses ke pendidikan tinggi. Tanpa upaya yang serius untuk menyebarluaskan keterampilan digital ini, AI hanya akan memperbesar jurang antara mereka yang terlatih dan yang tidak.

Tidak hanya di Indonesia, gejala kesenjangan akibat AI juga sudah mulai tampak di berbagai belahan dunia. Salah satu contoh yang sering dibahas adalah di Amerika Serikat, di mana perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Google, Amazon, dan Microsoft mendominasi pengembangan dan penerapan AI. 

Mereka memiliki akses ke data besar, tenaga kerja ahli, dan infrastruktur teknologi yang memungkinkan mereka menguasai pasar. Sementara itu, perusahaan kecil dan menengah, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang, tidak memiliki sumber daya yang sama untuk bersaing.

Hal yang sama terjadi di Afrika, di mana banyak negara masih berjuang untuk membangun infrastruktur teknologi dasar. Di beberapa negara, seperti Kenya dan Rwanda, ada kemajuan pesat dalam penggunaan teknologi AI untuk mendukung sektor pertanian dan kesehatan. Namun, di negara-negara lain, kesenjangan digital masih sangat besar, sehingga hanya segelintir yang bisa merasakan manfaat langsung dari AI.

Kesenjangan global ini semakin diperparah oleh fakta bahwa pengembangan AI membutuhkan sumber daya yang tidak merata, termasuk akses ke data besar dan infrastruktur komputasi canggih. Negara-negara yang memiliki akses ke kedua hal ini akan terus maju, sementara negara-negara yang tidak memilikinya akan semakin tertinggal.

Lalu, apakah AI hanya akan memperluas kesenjangan ekonomi? Tidak selalu. Jika dikelola dengan baik, AI justru bisa menjadi alat untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif. Ini berarti kita perlu memastikan bahwa pengembangan dan penerapan AI dilakukan dengan memperhatikan dampak sosialnya, serta memastikan bahwa semua orang, tidak peduli latar belakang ekonomi atau geografisnya, memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan manfaat dari AI.

Pemerintah perlu berperan aktif dalam menciptakan kebijakan yang memastikan bahwa AI tidak hanya menguntungkan segelintir orang. Ini bisa melalui program-program pelatihan keterampilan, pembangunan infrastruktur teknologi yang merata, hingga insentif bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan AI untuk menciptakan lapangan kerja baru, bukan hanya menggantikan tenaga kerja manusia.

Pada akhirnya, AI adalah teknologi yang memiliki potensi luar biasa, baik untuk menciptakan kemajuan ekonomi maupun memperlebar kesenjangan. Yang menentukan dampaknya adalah bagaimana kita memilih untuk menggunakannya. Apakah kita akan membiarkan AI memperbesar jurang antara yang maju dan tertinggal, ataukah kita akan menggunakan AI untuk mempersempit kesenjangan tersebut? Ini adalah pilihan yang ada di tangan kita semua. Kita pilih sekarang atau akan terlambat, setuju?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun