Mohon tunggu...
Darren Immanuel Yahya
Darren Immanuel Yahya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hanya Seseorang yang Penasaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Restu Orang Tua dalam Petualangan

7 November 2024   19:51 Diperbarui: 7 November 2024   20:19 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Minggu, 6 November 2024, kabar hilangnya Naomi Daviola (17), seorang siswi SMK 3 Semarang, saat mengikuti open trip ke Gunung Slamet, membuat geger media sosial. Kasus ini pertama kali muncul di platform TikTok, yang dengan cepat menyebar dan memicu kepanikan di kalangan keluarganya, terutama ibunya, Dwi Ningsih Veronica (40). Naomi berangkat dari Semarang pada Sabtu, berniat mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah tersebut. Setelah tiga hari dinyatakan hilang, tim SAR berhasil menemukannya pada Selasa, 8 November 2024.

Perjalanan Naomi berbeda dari rencana yang disetujui oleh sang ibu, yang hanya mengizinkan putrinya mengikuti kegiatan pramuka, bukan open trip pendakian. Bayangkan perasaan seorang ibu yang mendadak dihubungi oleh tim SAR yang mengabarkan anaknya hilang di gunung. Situasi ini menggambarkan bagaimana kepergian tanpa restu dari orang tua, yang mungkin tampak sepele bagi anak muda, bisa menimbulkan kecemasan luar biasa bagi mereka yang menunggu di rumah.

Tidak hanya bagi Naomi, banyak kasus serupa yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan anak muda yang menganggap petualangan sebagai sarana pembuktian diri. Salah satu contoh terkenal adalah kasus hilangnya Yuda Pratama di Gunung Arjuno pada 2017. Seperti Naomi, Yuda tidak memberikan informasi yang jelas kepada keluarganya. Hingga kini, Yuda masih belum ditemukan, dan kisahnya menjadi peringatan akan pentingnya komunikasi dan izin dari orang tua sebelum melakukan perjalanan.

Kasus Naomi menyoroti dua aspek penting, yaitu restu orang tua dan keselamatan dalam perjalanan. Banyak anak muda yang merasa memiliki kemandirian cukup untuk memutuskan ke mana mereka akan pergi, namun sering mengabaikan risiko yang mungkin timbul. Restu orang tua bukan sekadar formalitas. Ini adalah manifestasi dari kekhawatiran dan pengalaman hidup yang mereka miliki, yang sering kali memungkinkan mereka untuk melihat risiko yang tidak disadari oleh anak-anak yang merasa kuat dan tak terkalahkan.

Restu dari orang tua dapat dianalogikan seperti rambu lalu lintas dalam sebuah perjalanan. Tanpa rambu tersebut, perjalanan memang terasa lebih bebas dan tanpa batas, tetapi penuh risiko dan bahaya yang tidak terduga. Orang tua, dengan segala pengalamannya, memberikan izin bukan untuk membatasi, melainkan untuk memastikan keamanan dan keselamatan anak-anak mereka. Ketika Naomi berangkat tanpa restu ibunya, dia juga kehilangan "rambu lalu lintas" yang mungkin akan membantunya memahami risiko yang akan dihadapi.

Selain restu orang tua, perjalanan Naomi ke Gunung Slamet juga penuh tantangan. Ia berangkat sendiri dengan sepeda motor yang remnya blong---suatu kondisi berbahaya, terutama di jalanan pegunungan yang penuh tanjakan dan turunan tajam. Dalam perjalanan dari Semarang ke Purbalingga yang memakan waktu sekitar 6-8 jam, Naomi tidak hanya menghadapi perjalanan fisik tetapi juga psikologis, tanpa dukungan keluarga.

Setelah tiga hari pencarian, tim SAR dan teman-temannya berhasil menemukannya. Pada Selasa, sekitar pukul 10.00, Naomi akhirnya tiba di basecamp, disambut dengan pelukan haru dari orang tuanya. Momen ini menggambarkan kebahagiaan dan kelegaan yang luar biasa, baik bagi Naomi yang telah melewati situasi sulit, maupun bagi orang tuanya yang begitu mencemaskan keselamatannya. Ibu Naomi, Dwi Ningsih, mengaku, "Ketika saya melihatnya lagi, hati saya lega. Pelajaran terbesar yang bisa dipetik adalah, restu orang tua sangat penting dan utama."

Kisah Naomi menjadi pengingat bagi kita semua bahwa restu dan izin orang tua dalam sebuah perjalanan bukan sekadar prosedur formal, tetapi bentuk perlindungan. Orang tua adalah pihak yang paling memahami risiko dan bahaya, berkat pengalaman hidup yang mereka miliki. Mereka ingin memastikan anak-anaknya pulang dengan selamat. Bagi Naomi, pengalaman ini mungkin menjadi pembelajaran penting tentang arti keselamatan dan pentingnya komunikasi yang terbuka dengan keluarga.

Sebagai generasi muda, petualangan dan eksplorasi adalah hak, tetapi kewajiban untuk memastikan keselamatan tetap menjadi prioritas. Orang tua mungkin terlihat terlalu protektif, tetapi di balik itu ada niat baik untuk menjaga anak-anaknya dari bahaya yang tak terduga. Dengan mengindahkan restu orang tua, perjalanan yang dilakukan pun akan menjadi lebih tenang dan bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun