Kolese Kanisius adalah salah satu "artefak" yang dimiliki Indonesia di bidang pendidikan. Sejak 1927, eksistensi Kanisius di Tanah Batavia kala itu menjadi saksi sejarah yang melihat proses kemerdekaan Indonesia hingga reformasi yang terjadi. Kolese Kanisius hari ini berusia 97 tahun dan telah menjadi badan pendidikan yang berkualitas dalam membentuk pemimpin-pemimpin dengan kualitas "Act of Service".
Kolese Kanisius pada awalnya merupakan sekolah dengan kurikulum Belanda, dengan pendirinya adalah pater-pater Jesuit dari Belanda. Seiring dengan dinamika Revolusi Indonesia, Kolese Kanisius tidak lagi tertutup sebagai suatu badan pendidikan yang eksklusif, melainkan inklusif. Hal ini juga menyebabkan perubahan struktur akademik beberapa kali di Kolese Kanisius, hingga namanya berubah menjadi Kolese Kanisius setelah peresmian Undang-Undang Dasar Pendidikan tahun 1945.
Menurut saya, Kolese Kanisius di masa lampau merupakan sejarah yang harus kita banggakan. Tercatat bahwa pada awal pendirian Kolese Kanisius, sekolah ini menerima 20 murid dengan nama AMS, bukan SMA. Dari situ, Kolese Kanisius semakin dikenal oleh publik sebagai institusi pendidikan yang unggul dalam pembentukan karakter, terutama kejujuran. Kolese Kanisius terkenal sebagai sekolah yang tidak pandang bulu terhadap indikasi kecurangan apa pun.
Di masa sekarang, saya merasa bangga sebagai bagian dari komunitas besar Kolese Kanisius yang memiliki tradisi panjang di Indonesia. Saya bangga karena keterlibatan semua orang telah menjaga dan membawa Kolese Kanisius hingga saat ini. Sebagai siswa Kolese Kanisius, saya merasa bahwa aspek kejujuran masih sangat ditekankan dalam dinamika pendidikan. Selain itu, tuntutan kegiatan non-akademis juga menjadi suatu hal yang unik dan berbeda di Kolese Kanisius. Tidak hanya akademis, kami juga dituntut untuk aktif mengembangkan aspek kepemimpinan melalui kepanitiaan dalam kegiatan-kegiatan yang ada.
Ada sedikit hal yang cukup mengganggu saya di Kolese Kanisius masa kini. Saya cenderung merasakan bahwa ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan semata-mata untuk meneruskan tradisi dan memenuhi tuntutan non-akademis. Padahal, kegiatan harus dilandasi oleh suatu masalah yang aktual, bukan didasarkan pada masalah di masa lalu. Menurut saya, jika suatu kegiatan dilaksanakan hanya berdasarkan sejarah masa lampau, maka kegiatan itu kurang lebih tidak layak lagi untuk diteruskan. Hal ini juga didukung oleh pendapat salah satu kepala direksi di SMA Kolese Kanisius yang mengungkapkan hal yang sama.
Untuk masa depan, saya merasa bahwa Kolese Kanisius perlu menyadari kembali, apa esensi dasar dari pendidikan Ignatian? Sebab, pendidikan Ignatian bukanlah semata-mata tidak mencontek, tapi ada nilai yang lebih mendasar di dalamnya. Dapat diperhatikan bahwa antusias internal Kolese Kanisius tahun ke tahun semakin menurun dalam penyambutan suatu acara. Ada beberapa penyebab untuk ini, salah satunya adalah jeda yang disebabkan oleh pandemi 2019 silam. Saya merasa bahwa Kolese Kanisius dewasa ini bukan lagi badan pendidikan karakter yang sekuat dahulu, sebab masih banyak siswa yang cenderung pasif dan tidak menunjukkan ciri khas seorang Kanisian. Sebagai pengurus OSIS yang terpapar secara lebih dekat dengan proses pelaksanaan kegiatan di sekolah, saya menyadari bahwa data statistik (berdasarkan data dari kegiatan formasi Ignatian dan kegiatan lain yang relevan) sedikit memburuk dibandingkan tahun sebelumnya.
Saya merasa takut bahwa di masa depan, Kolese Kanisius akan kehilangan identitasnya sebagai sebuah badan pendidikan yang mengutamakan karakter. Akan sangat disayangkan bila Kolese Kanisius nantinya hanya menjadi sekolah bergengsi dengan ciri khas yang semakin memudar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H