Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meme Jomok dan Remuknya Pondasi Realitas

27 April 2024   20:02 Diperbarui: 28 April 2024   16:45 2266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada Apa dengan Meme Jomok?

Meme Jomok adalah suatu bentuk lelucon daring yang populer di Indonesia saat ini. Konten dari meme ini berisikan cuplikan video maupun gambar dari satu atau lebih orang berkulit hitam yang sedang melakukan aktivitas tertentu. Contoh dari Meme Jomok ini adalah goyangan lucu dari pembuat konten TikTok, Philip Diby, yang diberikan efek tertentu dan nama baru sebagai Rehan Wangsaff oleh netizen Indonesia.

Awal mula lahirnya meme Jomok masih belum pasti. Namun, banyak yang berpendapat bahwa video dansa Ricardo Milos yang memulai tren meme ini. Tidak sedikit juga yang menganggap bahwa permulaan tren meme Jomok dimulai dari penyelewengan konteks berbagai video Dreamybull, seorang mantan pembuat konten dewasa.

Pada hemat saya, meme Jomok adalah suatu produk budaya yang menarik. Saya melihat bahwa kreativitas netizen Indonesia sangat di luar nalar. Banyak sekali deviasi konteks yang mereka lakukan kepada banyak video yang dibuat oleh pembuat konten berkulit hitam. Namun, saya rasa ada sesuatu masalah penting yang mencoba berbicara lewat penyebaran meme ini. Masalah tersebut boleh jadi adalah sumber dari penyebaran meme Jomok yang sangat intens itu sendiri.

Terancamnya Makna Kebenaran

Media sosial sangat rentan terhadap distorsi kenyataan. Pada Selasa, 13 Februari 2024, sebuah video tentang pembunuhan kejam Keluarga Clarke diunggah di TikTok oleh akun @baddreams1985. Pemaparan kasus yang diberikan oleh akun tersebut sangatlah jeli. Akun tersebut menampilkan banyak sekali foto yang menggambarkan kejadian. Di awal video pun mereka menampilkan gambar dari seluruh anggota Keluarga Clarke. Namun, video pembahasan dari akun @baddreams1985 ternyata hanyalah suatu kebohongan saja.

Sayangnya, video tersebut ditonton oleh jutaan orang dan sebagian besar penonton percaya pada keaslian kasus Keluarga Clarke. Kebohongan sangat mudah dikonstruksi lewat media sosial. Kemalasan pengguna diiringi dengan sifat keusilan pembuat konten menciptakan kombinasi yang memproduksi realitas semu. Kebenaran pun menjadi terancam. Apakah makna dari kebenaran itu sekarang? Kebenaran, apakah ia sekadar korespondensi antar komponen sistem realitas yang dikonstruksi.

Kenyataan yang Retak

Kebijaksanaan Prancis telah memperingati kita terhadap ancaman simulasi. Jean Baudrillard (1981) telah menguraikan empat tahapan distorsi realitas di dalam sejarah. Tahap pertama, tanda yang digunakan masyarakat masih merepresentasikan realitas secara akurat. Selanjutnya, tanda mulai dimainkan oleh orang banyak untuk mengaitkan suatu unsur realitas dengan teknik perbandingan. Ketiga, tanda oleh masyarakat digunakan secara luas dengan berbagai modifikasi terhadap petanda (signed) mulanya. Namun, pesan yang tersampaikan secara otomatis akan dimaknai sebagai petanda yang orisinil kembali. Terakhir, tanda pun dimanipulasi oleh masyarakat untuk menciptakan suatu realitas tanpa acuan.

Kehadiran media sosial mempererat kekangan tali simulasi yang mencekik umat manusia. Bagaimana tidak? Berita palsu terus bertebaran di berbagai macam sarana komunikasi. Manipulasi konteks yang saya gemar sebut rekonteksifikasi kian menyebar bagaikan virus. Realitas telah menjadi permainan yang terbuka, bukan hanya pada bidang humor, seperti meme Jomok. Namun, peristiwa yang sama juga menghantui dunia politik, sains, sosial, dll.

Kembali ke Dalam

Sangat sulit menghentikan fluks kepalsuan yang terus mengalir di Internet. Namun, saya rasa kita setidaknya dapat meminimalisir pembutaan diri lewat simulasi daring. 

Merujuk pada Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang dilaksanakan pada tahun 2023, tingkat literasi masyarakat Indonesia hanya sebesar 69,42 poin dari skala 1-100. Data ini sangat miris mengingat kondisi realitas yang semakin penuh dengan manipulasi.

Melihat hal ini, seseorang harus mampu berpikir secara nomaden. Kunci menghindari representasi dan informasi palsu adalah dengan giat menelusuri asalnya. 

Sumber beserta koneksi konten dengan konten lain yang telah terverifikasi sangatlah penting. Oleh karena itu, meningkatkan literasi tidak hanya sampai pada rajin membaca saja. Namun, pengertian juga harus ditumbuhkan guna menciptakan jejaring konsep yang riil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun