Manusia kontemporer hidup dalam keadaan yang bising. Ia bekerja atau pun mendatangi kelas dari pagi sampai matahari hendak tenggelam. Ia sampai di rumah saat malam telah larut. Tubuhnya yang lelah beserta pikirannya yang sudah terlalu penuh memaksa manusia untuk lekas menjatuhkan badan menuju kasur. Di atas kasur, ia berhadapan dengan dua plihan: tidur dan segera menyambut siklus sama yang menanti pada hari esok atau menatap layar sambil menggerakan jempolnya ke atas pada aplikasi TikTok.
Pada hemat saya, kondisi semacam ini adalah sebuah kanker bagi manusia. Bak penyakit non-communicable yang senyap sampai pada tahap kulminasinya yang menyeramkan. Saya rasa sebagian besar dari pembaca juga tak masalah scrolling media sosial seusai menuntaskan aktivitas pekerjaan maupun studi. Namun, saya melihat bahwa ada konsekuensi yang tak main juga dari kebiasaan tersebut.
Melenyapkan diri di dalam rekreasi instan meninggalkan suatu aktivitas penting di dalam kehidupan. Aktivitas yang saya maksud adalah menyendiri, secara total. Kegiatan seperti bermeditasi atau sekadar mengosongkan kepala sejenak saya rasa sulit dilakukan siapapun sekarang. Manusia telah menjadi makhluk yang cemas akan terlalu banyak hal. Saya tak menyalahkan juga karena memang kehidupan kita penuh dengan transfer muatan informasi yang sangat berlebih.
Media sosial saya rasa telah menjadi pedang bermata dua bagi kehidupan manusia. Di satu sisi, ia penting guna mendapatkan informasi secara cepat. Namun, perlu dilihat juga bahwa media sosial memiliki risiko kecemasan yang besar pula bagi manusia. Berbagai muatan tersaji dengan sangat cepat; foto teman-teman di kafe, berita kemenangan Timnas Indonesia melawan Vietnam, dll. Penuh sampai meluap saya rasa kepala manusia dengan informasi yang banyak-terlalu-banyak ini.
Kecemasan timbul akibat impotensi manusia dalam memilah segala informasi. Ditambah juga dengan kenyataan bahwa informasi yang tersedia bersifat infinit. Bayangkan saat kita scrolling di TikTok, tidak ada batasnya, bukan? Maka, manusia meihat dirinya di dalam sebuah perjalanan memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Ia menganggap bahwa dirinya harus terus mencari tanpa henti.
Saya tidak setuju dengan persepsi seperti ini. Kembali pada tema dasar artikel ini, kemampuan menyendiri adalah suatu kewajiban. Artikel ini tidak untuk mendorong orang untuk pergi menyendiri dan menjadi anti-sosial maupun anti-rekreasi. Namun, saya ingin menyadarkan bahwa kehidupan manusia harus diseimbangi banyak waktu menyendiri.
All of humanity's problems stem from man's inability to sit quietly in a room alone -Blaise Pascal
Manusia butuh waktu sendiri untuk merasakan tingkat keberadaan yang paling tinggi. Di saat manusia sendiri, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa ia eksis secara nyata dan memiliki suatu kehendak yang bebas. Perasaan semacam ini takkan timbul di tengah kesibukan pekerjaan, studi, ataupun rekreasi manapun. Kesendirian membebaskan manusia dari arus kendali dunia yang eksternal dari dirinya. Penarikan diri sejenak mengingatkan manusia bahwa ia memiliki kehendak sebagai suatu keberadaan, meski memang ia tidak sepenuhnya tidak bergantung pada bentuk-bentuk keberadaan eksternal lainnya.
Kesibukan menihilkan makna kehidupan. Refleksi sunyi menyalakan suatu obor yang menerangi gua suram kehidupan manusia. Dengan itu, manusia mampu melihat dengan cerah makana-makna novel yang tersingkap dalam pengalamannya. Inspirasi datang tidak secara instan, ia butuh waktu. Proses alam bawah sadar tidaklah segesit gerakan scrolling ibu jari manusia. Oleh karena itu, manusia harus mampu menyediakan waktu keluar dari ruang kesibukan hariannya.
Meluangkan waktu menyendiri memanglah sulit tetapi bukan berarti mustahil. Saya percaya kehendak manusia tidak memiliki batasan. Dengan suatu kemauan yang kuat, cakrawala persepsi kita akan menunjukkan cara-caranya. Langkah kecil mengurangi screen time, terutama pada aplikasi TikTok dan Instagram saya rasa sangat mungkin dilakukan. Setelah itu, kita dapat mensubstitusikan alokasi waktu tersebut guna menyendiri sebentar saja. Boleh jadi juga kita menulis sebuah jurnal setelah bertukar ciuman pipi dengan kesunyian. Satu catatan jauh lebih berharga dari seribu untaian kata yang timbul dalam kepala.
Kemauan yang menjadi penentu. Mampukah kita keluar dari arus dunia banyak-terlalu-banyak? Keberanian menyendiri tidaklah mudah direnggut saat kita telah terkontaminasi kesibukan nihil makna. Namun, saya percaya bahwa transformasi pribadi kita yang akan timbul seusai mampu menyendiri akan menjadi sangat berharga. Jauh lebih berarti ketimbang terus hidup dalam kebisingan yang memabukkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H