Empati sendiri telah berlangsung sejak kita kecil. Manusia pertamanya akan menyelesaikan fase cermin yang dipenuhi oleh imitasi. Kemudian, kesadaran akan dirinya sebagai suatu keberadaan pun timbul. Kesadaran ini melahirkan kemampuan untuk tidak sekadar menyerap keberadaan orang lain. Namun, manusia pun menjadi mampu melakukan judgement dalam konteks apa yang sekiranya manusiawi menurut tolak ukur setiap individu tersebut.
Kemampuan empati atas dasar kesetaraan keberadaan yang sadar mengkompensasi nihilnya hati nurani yang innate. Saya mampu melihat keberadaan manusia lain lewat formasi orang tersebut. Pengalaman empati yang kita ekstrak dapat kita tempel ke dalam kesadaran kita. Dengan begitu, kita bertindak mengikuti "hati nurani" saat kita memperlakukan orang lain sesuai bagaimana kita ingin diperlakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H