Melangkah Melintasi Perbedaan
"Bukanlah perbedaan yang memecah belah kita, melainkan ketidakmampuan kita untuk menerima dan menghargai perbedaan tersebut." ucap Nelson Mandela. Â
Kalimat ini terngiang di benak saya saat pertama kali melangkahkan kaki di lingkungan pesantren, tempat saya dan teman-teman menjalani ekskursi selama tiga hari. Sebagai seorang pelajar dari sekolah Katolik, awalnya ada keraguan di hati saya tentang bagaimana pengalaman ini akan berjalan. Bayangan stereotip, prasangka, serta perbedaan budaya dan agama menjadi beban pikiran sebelum keberangkatan. Namun, pengalaman ini membuktikan bahwa ketakutan tersebut hanyalah bayang-bayang semu. Â
Ketika kami tiba, suasana pesantren yang asri menyambut dengan sederhana namun bersahaja. Para santri, dengan senyum ramah mereka, menyapa kami tanpa sedikit pun menunjukkan keraguan. Pagi hari pertama dimulai dengan sholat subuh yang diikuti kegiatan mengaji. Kami, meskipun tidak berpartisipasi langsung, diberikan ruang untuk mengamati dan memahami kebiasaan mereka. Di sinilah saya pertama kali menyadari betapa kedisiplinan dan spiritualitas menjadi pilar utama kehidupan pesantren. Â
Di sela waktu luang, interaksi antar kami dan santri menjadi momen berharga. Mereka berbagi cerita tentang kehidupan di pesantren, bagaimana mereka mengatasi kerinduan terhadap keluarga, dan cita-cita besar mereka. "Di sini, kami diajarkan bahwa ilmu adalah cahaya, dan tugas kita adalah menjaganya tetap menyala," kata salah satu santri dengan penuh semangat. Saya terdiam mendengarnya. Ternyata, di balik keterbatasan fasilitas, ada keteguhan hati yang luar biasa. Â
Ekskursi ini menantang saya untuk mempertanyakan kembali pemahaman saya tentang toleransi. Apakah toleransi hanya sebatas tidak mencampuri urusan orang lain? Atau lebih dari itu? Dalam pengalaman saya, toleransi berarti membuka hati dan pikiran untuk belajar dari mereka yang berbeda. Â
Ketika berbicara dengan ustad yang mendampingi kami, beliau menjelaskan, "Toleransi adalah tentang saling mengisi, bukan sekadar berdampingan." Pernyataan ini sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Dengan toleransi, perbedaan agama, budaya, dan tradisi tidak lagi menjadi tembok pemisah, tetapi menjadi jembatan yang menghubungkan. Hal ini bukan hanya teori; saya melihatnya langsung dalam interaksi sehari-hari di pesantren. Â
Namun, toleransi juga membutuhkan keberanian. Ada keberanian untuk melepaskan ego, mengakui keterbatasan diri, dan belajar dari mereka yang mungkin pandangan hidupnya berbeda. Jika keberagaman adalah fakta kehidupan, maka toleransi adalah seni untuk hidup bersama dalam harmoni. Â
Pesantren tempat kami tinggal memiliki nuansa sederhana namun penuh makna. Bangunan-bangunan kayu yang berjajar rapi di tengah halaman luas seolah menjadi saksi perjalanan para santri mencari ilmu. Kamar tidur mereka kecil dan minimalis, diisi dengan kasur tipis dan lemari sederhana. Di sudut lain, aula besar menjadi tempat berkumpul untuk belajar dan berdoa. Â
Meskipun fasilitasnya jauh dari kemewahan, ada kehangatan yang terasa di setiap sudut. Ketika malam tiba, suasana menjadi hening, hanya diisi lantunan doa dan zikir. Suara itu tidak hanya menenangkan, tetapi juga memberikan kedamaian yang sulit dijelaskan. Kehidupan di pesantren mengajarkan kami bahwa kebahagiaan bukan berasal dari materi, melainkan dari rasa syukur dan kebersamaan. Â
Salah satu pelajaran terbesar yang saya dapatkan adalah pentingnya rendah hati dalam menerima perbedaan. Di pesantren, saya belajar bahwa kenyamanan bukanlah segalanya. Hidup dengan fasilitas terbatas justru mengajarkan kami tentang nilai adaptasi dan rasa syukur. Â