Mohon tunggu...
Darohjatul Khasanah
Darohjatul Khasanah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Seorang pembelajar yang memiliki minat dalam bidang sains dan sastra serta menyukai hal-hal sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membasuh Selaksa Luka Bersama: Resensi Novel Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu Karya Nurillah Achmad

1 Desember 2023   23:33 Diperbarui: 22 Januari 2024   07:57 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah ini bermula ketika Kinar–seorang remaja yang baru saja lulus sekolah menengah pertama– kehilangan sosok Ibu dalam hidupnya. Hari di mana Mamaknya–sebutan Kinar untuk memanggil ibunya–mengerjap-ngerjap di atas dipan, tubuhnya yang kurus kering menggelinjang tak keruan sementara mulutnya mengeluarkan darah hitam, adalah saat-saat paling mengerikan bagi Kinar. Ia tak percaya bahwa detik itu Malaikat Izrail tengah menunggui mamaknya. Kinar meratapi kepergian mamaknya lewat tangisan, meraung-raung menahan Bang Faiz–saudara tertuanya–agar tak memungut kain kafan yang telah mamaknya siapkan sebulan sebelumnya. 

Setelah prosesi pemakaman selesai, saat semuanya kembali ke rumah dan duduk di ruang tengah, Bang Faiz meminta Kinar menyiapkan diri untuk pergi merantau ke Pulau Jawa demi melaksanakan nazar mamaknya yang teringin memasukkan anaknya ke pesantren. Karena sang Mamak lupa akan nazarnya sampai Bang Faiz dan Bang Teguh menikah, akhirnya Kinar lah yang diminta menyantri. Meski perasaan dalam dada teramat kacau, Kinar memutuskan merantau. Perjalanan dari Pontianak menuju Pelabuhan Dwikora memakan waktu hampir dua jam. Ketika itu, kondisi ekonomi keluarga kurang memungkinkan membeli tiket pesawat. Mamak benar-benar menguras pemasukan, padahal pendaftaran terakhir di pesantren yang Kinar tuju akan berakhir empat hari lagi. Jadilah, Kinar harus menaiki Kapal Pelni untuk sampai di pesantren yang akan ia tempati tak lama lagi. 

Kinar tiba di pesantren pada siang hari. Selepas bapaknya menyelesaikan administrasi, Kinar mengikuti langkah pengurus pesantren menuju rayon Andalusia, tempat yang akan ia tempati selama di pesantren. Setelah acara penyerahan kepada pengasuh berlangsung singkat, namun khidmat, Kinar segera keluar dari aula dan mencari Bapak yang tak bisa berlama-lama karena harus segera pulang ke Pontianak guna menyiapkan 7 hari Mamak. Kinar tak ingin berpisah dengan Bapak setelah Mamak meninggalkannya. Kinar berlari memegangi kaki bapaknya agar tak berjalan lagi, tetapi Kiai Wafa meminta dua petugas memeganginya yang mulai menjerit di depan gerbang. Kinar berusaha melepaskan diri dari cengkeraman, tapi genggaman dua petugas itu teramat kuat. Kinar kian memekik dan akhirnya ia jatuh pingsan di depan gerbang.

Sejak peristiwa pingsannya Kinar di depan gerbang, ia mulai terkenal di pesantren, terutama di kalangan santriwati baru. Banyak yang menaruh simpati kepadanya, mengajak makan bersama, belajar di tangga, atau sekadar berbicara, tetapi Kinar tak menimpalinya. Ia hanya menjawab ala kadarnya, atau hanya mengangguk saja. Kinar sulit bersosialisasi di pesantren. Ia masih merindukan mamaknya. Hingga akhirnya, Kinar bersahabat dengan Naray yang memiliki seribu akal mengelabuhi pengurus dan Ruth yang lebih banyak diam akibat trauma dibully.

Suatu hari, ketika Kinar belum sampai setahun di pesantren, ia mesti pulang ke rumahnya di Pontianak musabab ayahnya turut pergi menyusul ibunya. Kinar tertunduk dengan sorot mata tak percaya. Hari itu, Kinar melangkah lunglai guna pulang ke kampung halaman. Sekembalinya ke pesantren, Kinar tak mau salat karena menganggap Tuhan teramat keji, dan Naray membantunya meloloskan diri dari intaian pengurus. Hingga akhirnya, perbuatan Kinar terendus keamanan pusat. Kinar dan Naray dihukum. Beruntung Nyai Hashina meminta Kiai Wafa agar tidak mengeluarkan mereka berdua. Sejak saat itu, Kinar tahu bahwa bukan hanya dirinyalah yang tertusuk sembilu. Naray adalah anak broken home yang menutupi kesedihan lewat tingkahnya yang ceria nan usil. Ia juga diperlakukan berbeda oleh orang tuanya padahal anak sekandung, bahkan dihajar ayahnya lantaran malu karena Naray melanggar peraturan. Tak berbeda dengan keduanya, Ruth merupakan korban perundungan yang dilakukan teman sekelasnya selama tiga tahun. Perbuatannya bukan sekadar mengolok-olok, tapi merajah ke fisik. Bullying secara fisik tak jauh lebih berat daripada kata-kata. Perundungan apa pun bentuknya pasti menyisakan luka. Untuk itu, Kinar, Naray, dan Ruth menjalani hidup bersama di sebuah pondok pesantren di Pulau Jawa. 

Ketika senja hampir layu, sementara langit mempersingkat batasan siang dan malam, tiga serangkai yang saling bersahabat itu saling berpelukan, membasuh luka masing-masing. Mereka percaya, luka yang menyisakan bekas akan hirap tatkala ia menemukan rumahnya. Dan mereka telah menemukan ‘Rumah’ itu.

Novel ini dibagi menjadi lima bagian, yang pertama tentang Suara Kinar, kemudian Suara Naray, Suara Ruth, Suara Guru Hashina, dan Suara Penutup dengan sudut pandang Kinar. Sebagian besar cerita berangkat dari deretan fakta yang penulis dramatisasi menjadi cerita, tapi sebagian lain merupakan penciptaan fiktif. Novel setebal 208 halaman ini digambarkan Nurillah dengan sangat apik dan dinarasikan dengan manis dengan alur yang mengalir bebas sehingga nyaman untuk dibaca. Novel religi ini memiliki cara penyampaian yang unik, berbeda dari yang lain. Karakter setiap tokoh dalam cerita ini digambarkan berbeda-beda sehingga pembaca cepat membedakan setiap tokoh.

Konflik yang diangkat Nurillah related dengan kehidupan sehari-hari, seperti trauma masa lalu, bullying, broken home, atau masalah keluarga yang sangat menyenangkan sekaligus menyesakkan untuk dibaca. Dengan latar belakang setiap tokohnya yang mempunyai warna tersendiri menunjukkan luka yang berbeda pula sehingga pembaca dapat mengambil amanat dari cerita masing-masing. Cerita ini juga diselingi oleh kejadian-kejadian lucu seperti ketika Naray yang tiba-tiba muncul di bak mandi, Kinar yang diajak menyelam padahal sedang menstruasi, kisah khadam  penyair dalam diri Naray, atau ketika Naray memimpin sebuah penelitian tentang pertumbuhan kecambah dengan air wudu, dan lain sebagainya sehingga menambah warna dalam cerita ini. 

Meski pembaca dibawa dalam cerita yang menaik-turunkan emosi dan memacu adrenalin, tampilan teks yang kurang bagus karena terlalu banyak tanda hubung untuk melengkapi kalimat yang tanggal di pergantian baris membuat pembaca harus menggerakkan mata agar tak kehilangan baris yang dibaca. Selain itu, terdapat paragraf baru dengan huruf caps lock yang seakan-akan merupakan pergantian bab cerita, padahal tidak. Tampilkan font yang kurang diperhatikan pada halaman 167–168 dan 170 yang tiba-tiba saja berganti dari Times new roman ke jenis font lain. Terdapat pula kata-kata tidak baku yang tidak sesuai dengan KBBI seperti pada halaman 11, kata mempengaruhi (dalam KBBI yang baku adalah memengaruhi), pada halaman 73 terdapat kata ngerjain dalam sebuah paragraf, dan kata triplek pada halaman 72 (dalam KBBI kata triplek tidak ditemukan, yang ada adalah tripleks ). 

Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, novel religi ini memiliki manfaat terutama untuk orang-orang yang tengah mengalami luka maupun orang yang masih memiliki trauma masa lalu sebagai sarana healing untuk menyembuhkan luka batin. Pembaca akan mengetahui pentingnya  mental health dalam kehidupan ketika membaca cerita ini. Sangat direkomendasikan untuk pencinta novel religi dan juga untuk anak di atas usia dua belas tahun karena di dalamnya mengisahkan cerita menarik dan ringan tanpa ada unsur percintaan.  

Resensator: Darohjatul Khasanah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun