Mohon tunggu...
Darno Latif
Darno Latif Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca itu bukan hobi tapi kebutuhan pokok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Taubat Seorang Preman

19 November 2022   04:06 Diperbarui: 19 November 2022   06:07 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Amad menatap langit-langit kamarnya. Ia tak bisa lagi membedakan mana langit-langit kamar dan atap. Keduanya seperti menjadi satu. Saking kuat beban hidup yang dialaminya, pikirannya pun jauh melayang ke angkasa raya, melintasi galaksi bima sakti. Perlahan-lahan benda-benda langit itu mulai menghilang dan ia pun tersadar dari lamunannya. Kemudian tampaklah sarang laba-laba bersarang di bagian atap dan sudut-sudut rumahnya.

Sebenarnya Amad mempunyai cita-cita yang sangat tinggi akan tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Saat itulah hidupnya menjadi berubah drastis. Tak lagi tampak keceriaan di wajahnya.  Ia tak bisa lagi bersekolah seperti teman-teman sebayanya. Di tambah lagi dengan rumah yang sudah reot. Kerap kali rumahnya diolok. "Kalau ditendang jangkrik, pasti roboh", olok orang-orang dikampungnya.

Dinding rumah Amad terbuat dari bambu cincang. Ukurannya sangat kecil. Di dalam kamar yang sempit inilah, ia memulai menggambar mimpi-mimpinya. “Saya harus mempunyai mimpi,” katanya dalam hati. Sering hatinya bergejolak, bagaimana bisa ia bermimpi sedangkan keadaannya seperti ini. Tak mungkin dia bermimpi yang muluk-muluk.

Disimpannya gambar gedung lima lantai itu di atas meja, Diremasnya kertas itu hingga menjadi sebesar kepalan tinju, lalu dilemparkannya keluar jendela rumah. Tak disangka, ternyata ia memiliki cita-cita membangun gedung lima lantai di gubuk reot tersebut. Meskipun hidupnya miskin, ia tidak mau kalah dari orang kaya di kampungnya. Setidaknya ia sudah mempartahankan harga diri tatkala diolok orang-orang dikampungnya. “Ah…ini tidak mungkin ini terwujud,” katanya dalam hati.

Setelah tidak bisa lagi melanjutkan sekolah Amad mulai banyak berubah. Hampir setiap hari ia berkelahi. Bukan rahasia lagi bahwa kampungnya terkenal dengan kenakalan remaja. Hampir setiap hari ada saja orang meninggal karena kena bacok dari sebuah clurit atau parang. Pernah sekali juga ia dibacok dibagian kepalanya sehingga ia tidak bisa pulang. Ia sangat khawatir orang tuanya mengetahui hal tersebut.

Ia mengobati luka di bagian kepala di rumah temannya sampai luka-lukanya benar-benar kering. Tampak banyak bekas luka yang sama di bagian kepalanya. Luka tersebut menunjukkan bahwa betapa seorang Amad sering berkelahi. Begitulah keseharian Amad saat putus sekolah. Ia melampiaskan rasa amarahnya terhadap takdir yang ia harus jalani. Seolah ia tidak punya lagi tujuan hidup. Bahkan ia mempunyai prinsip tidak takut mati, karena ia berpikir buat apa hidup sementara dia tidak bisa menggapai cita-citanya. Begitulah buah pikiran Amad kala itu.  

Meskipun keadaannya demikian, ia adalah seorang yang suka membaca buku. Kadang-kadang dia membaca potongan koran dari pembungkus kacang warung yang buang orang di pinggir jalan. Setelah berbagai peristiwa perkelahian yang dialaminya, semakin lama Ia khawatir hanya akan menjadi beban orang tuanya akibat kenakalannya di kampung. Lalu ia memutuskan berangkat ke kota untuk mengadu nasib. Siapa tahu disana dia dapat memperbaiki hidupnya. Setibanya di kota pergaulannya masih tetap sama. Teman-temannya kebanyakan adalah para gelandangan yang sama sepertinya.

Para gelandangan itu merasa memiliki nasib yang sama. Itulah alasan mereka menjadi akrab satu sama lain. Rasa lapar dan aroma kematian seringkali menngintai kehidupan mereka. Setelah sekian lama menjadi gelandangan, tibalah saatnya mereka berpikir bagaimana cara bertahan hidup di kota itu. Bersama para gelandangan lainnya, dipunggutinya sayur-sayur yang jatuh saat dipikul oleh buruh pasar. Hasilnya akan ditukarkan dengan nasi bungkus di warung makan langganan mereka.

Dengan begitu, kelompok gelandangan mereka bisa makan setiap hari. Begitu seterusnya sampai berbulan-bulan. Tapi ternyata itu tidak cukup, karena mereka juga butuh baju dan kebutuhan hidup lainnya. Ada salah satu teman gelandangannya menyarankan agar Amad mengamen di bis-bis penumpang yang singgah di terminal pasar. Pertama kali ia mengamen ada rasa khawatir karena mereka adalah kelompok gelandangan baru di daerah itu.

Setelah berpikir panjang, kemudian kebutuhan hidup, dengan terpaksa Amad mengamen di tempat itu. Memang itu sangat beresiko, urusan berhadapan dengan gelandangan lain itu urusan belakangan. "Yang penting bisa makan," ujar kawan-kawan Amad. Lalu mulailah mereka mengamen di wilayah pasar. Hari pertama mereka mendapatkan banyak uang. Ternyata kegiatan mereka sudah lama diawasi oleh anak gelandangan lain di pasar itu. Saat naik bis, tiba-tiba Amad dipukuli dari belakang oleh banyak orang yang tak dikenalinya.

Entah darimana kisahnya, keadaan pun berbalik. Para gelandangan pasar yang sebelumnya menempati area itu mau bekerjasama dengan kelompok gelandangan Amad. Mereka pun bersatu, mengamen bersama. Mereka mengamen di terminal selama bertahun-tahun. Amad terjatuh dalam kehidupan yang buruk. Ia pun mulai mengkonsumsi narkoba seperti anak gelandangan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun