Setelah membaca doa sejenak lelaki kerempeng itu meraih bundelan tempat gulungan kertas berisi nomer urut kepemilihannya. Dia meraih sesuatu yang tidak begitu jauh dari tubuhnya, hanya sejangkauan tangan saja. Mengapa?
Apakah dia malas? Tapi lengan bajunya yang acap kali tergulung, dan sebagian lengan yang tampak legam terpapar sinar matahari itu seperti bercerita tentang perjalanan demi perjalanan. Kerja-kerja sederhana, laku-laku sederhana, serta kata-kata yang sederhana.
Apakah dia sangat berambisi dan gila jabatan? Lantas mengapa ia memilih bundelan yang letaknya paling terakhir atau urutan ke Dua. Sementara kesempatan pertama diberikan Tuhan padanya untuk memilih sesuka yang dia mau. Karna lazimnya setiap keinginan, orang selalu berkehendak menjadi paling depan atau nomor satu bukan?
Kesimpulan saya pada pengamatan hari itu. Saya tak salah memilih lelaki kerempeng berwajah ndeso itu sebagai calon pemimpin negeri yang saya cintai ini. Karna segala yang terpancar dari tubuh, pikiran dan sikapnya adalah tanda dari keseimbangan yang tercantum pada sila ke Dua Pancasila " Kemanusiaan yang adil dan beradab " Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H