Mohon tunggu...
Darmin Hasirun
Darmin Hasirun Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Agar Menjaga Nalar Sehat

Saya hobi menulis, menganalisis, membaca, dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Politik

Petugas Negara Bukanlah Petugas Partai

6 November 2023   07:24 Diperbarui: 6 November 2023   07:35 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan mengenai rangkap jabatan petugas partai dan pejabat negara yang ditujukan kepada seorang Presiden dan para menteri telah menimbulkan polemik berkepanjangan karena tidak ada satupun regulasi yang melarang petugas partai merangkap jabatan dalam lembaga eksekutif, padahal melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) diwajibkan tidak terlibat atau terdaftar sebagai anggota partai politik. Memang terasa aneh karena pegawai tingkat bawah dituntut kerja professional dengan menghindari politik praktis tetapi para pejabat teras baik level presiden maupun menteri tidak dilarang aktif sebagai anggota partai politik.

Ibarat membersihkan ruangan rumah, si penyapu capek-capek membersihkan kotoran di lantai tetapi plafon rumah masih penuh kotoran. Inilah fenomena ironis para petinggi negara yang tidak merasa tahu diri dan tidak mampu melepaskan dari belenggu partai politik padahal jika kita merenungkan sebenarnya masyarakat tidak suka dengan penyebutan petugas partai bagi Presiden maupun para menteri karena seorang presiden atau menteri tidak sedang memimpin institusi partai politik, dan mereka tidak ditugaskan mengejar kepentingan partai politik tetapi tujuan negara.

Tidak sedikit pejabat publik masih memegang jabatan di partai politik diantaranya Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan RI (2022-Sekarang) sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Airlangga Hartato sebagai Menteri Perindustrian RI (2022-Sekarang) dan Ketua Umum Partai Golkar, Suharsono Monoarfa sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan (2022-Sekarang) sekaligus Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan RI sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra.

Protes keras juga dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo yang sering disebut Megawati Soekarno Putri sebagai "Petugas Partai" sejak periode pertama (2014-2019) sampai periode kedua (2019-sekarang) masih menjadi kader aktif PDIP yang menempatkan Presiden Joko Widodo seakan berada di bawah bayang-bayang perintah Ketua Umum PDIP.

Lalu apa bedanya antara petugas negara dan petugas partai? Disinilah letak subtansi tulisan ini bahwa menjadi petugas negara sebagai aktor yang berperan menjalankan tugas-tugas negara, dia harusnya independen dari berbagai kepentingan pribadi maupun golongan termasuk partai politik karena menjadi petugas negara harus bisa mewakili semua kelompok atau golongan yang ada di seluruh wilayah negara, orang yang berhasil menjalankan tugas negara pada akhirnya disebut negarawan. Beda halnya dengan petugas partai yang hanya bertugas menjalankan keputusan majelis atau pimpinan partai tertentu, dia dianggap kader partai karena karir politiknya melalui proses pengkaderisasian partai politik, tujuan dalam berpolitik harus disesuaikan dengan kepentingan partai, serta harus loyal dan taat kepada keputusan tertinggi partai serta perintah dari ketua umum partai sehingga petugas partai sering disebut politikus.

Banyak yang meragukan keseriusan para kader dan petinggi partai merangkap jabatan sebagai Presiden dan Menteri karena dicurigai masih membawa misi kepartaian yang hanya memuaskan oleh segelintir orang dalam organisasi partai politik. Ada pula yang berasumsi bahwa pembagian jabatan menteri kepada para ketua atau kader parpol sebagai implikasi bagi-bagi kue kekuasaan demi memuluskan politik balas budi karena telah bergabung dalam koalisi pemerintahan.

Ada ungkapan terkenal dari Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy (1991-1963) mengatakan "My loyality to my party ends when my loyalty to my country begins" artinya loyalitas saya kepada partai berakhir ketika loyalitas kepada negara dimulai. Pernyataan ini sebagai nasehat kepada para pejabat publik yang senang mendapatkan hadiah jabatan sementara disisi lain tidak melepas berbagai atribut kepartaiannya.

Memang kita harus akui bahwa sebelum kader partai mendapatkan pejabat publik masih disebut kader, tetapi jika sudah mendapatkan mandat dari rakyat dan negara, maka etikanya harus melepas berbagai kepentingan pribadi maupun golongan.

Mandat dari rakyat kepada pejabat publik merupakan dukungan / legitimasi dari rakyat secara de facto dan mandat dari negara sebagai pengakuan resmi secara de jure untuk melaksanakan tugas abdi negara dalam melindungi dan mensejahterakan rakyat.

Seorang nasionalis dan negarawan akan mempertaruhkan jiwa, raga dan seluruh yang dimiliki demi mencapai tujuan negara, disinilah pikiran kepentingan pribadi maupun golongan di kubur sedalam-dalamnya, dan otomatis akan hidup jiwa-jiwa yang berkobar memperjuangkan kepentingan negara dan rakyatnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun