Contoh Kasus 1:Â Seorang PNS (selanjutnya kita sebut A) menerima dokumen permohonan perizinan dari pengguna layanan publik (selanjutnya kita sebut C). Pada media sosial kantor tempat A bekerja terdapat unggahan flyer JANJI LAYANAN yang menerangkan bahwa tidak ada biaya layanan.Â
Dalam memproses permohonan tersebut, A melakukan sesuai prosedur. Saat menyerahkan dokumen permohonan perizinan yang sudah selesai kepada C, A mendapatkan uang Rp500.000,00. C mengatakan kepada A bahwa dia senang karena permohonan perizinannya sudah dilayani dengan baik dan cepat, uang Rp500.000,00 tersebut sebagai bentuk terima kasih.
Contoh Kasus 2:
Seorang PNS (selanjutnya kita sebut B) menerima dokumen permohonan perizinan yang diajukan oleh seorang pengguna layanan publik (selanjutnya kita sebut D). Saat itu B mengatakan kepada D bahwa ada biaya layanan sebesar Rp500.000,00.Â
Pada media sosial kantor tempat B bekerja terdapat unggahan flyer JANJI LAYANAN yang menerangkan bahwa tidak ada biaya layanan. Oleh karena ketidaktahuannya, D membayar Rp500.000,00 kepada B. Dalam memproses permohonan tersebut, B melakukan sesuai prosedur. Setelah selesai, B menyerahkan dokumen permohonan perizinan kepada D.
Pada Contoh Kasus di atas A bekerja sesuai prosedur, lalu A mendapatkan uang terima kasih Rp500.000,00 dari pengguna layanan publik C. Sedangkan B pun bekerja sesuai prosedur, tetapi memungut Rp500.000,00 dari pengguna layanan publik D.
Dalam pandangan kita, siapa yang layak dikenakan hukuman lebih berat? Apakah A yang menerima tanda terima kasih tanpa berinisiatif meminta atau B yang berinisiatif meminta dengan memungut biaya layanan publik?
Kita boleh jadi akan sepakat bahwa B layak mendapatkan hukuman lebih berat karena tingkat kesalahan yang dilakukan B lebih besar dari A.
Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya kita sebut PP 94). PP 94 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 31 Agustus 2021. Pada Pasal 45 disebutkan bahwa, "Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135), sepanjang tidak mengatur jenis Hukuman Disiplin sedang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku." Jadi PP 94 ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya kita sebut PP 53).
Untuk menjawab pertanyaan siapa yang layak dikenakan hukuman lebih berat, apakah A atau B, kita mesti mengacu pada PP 94.
Bila tidak salah menafsirkan dan menghitung, pada PP 94 ini terdapat 9 pasal yang mengatur kewajiban dan larangan PNS terkait praktik korupsi, yang terdiri dari 2 pasal kewajiban dan 7 pasal larangan.
Berikut ini adalah 9 pasal tersebut:
- Pasal 4 huruf d berbunyi, "Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, PNS wajib melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara."
- Pasal 4 huruf i berbunyi, "Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, PNS wajib menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
- Pasal 5 huruf a berbunyi, "PNS dilarang menyalahgunakan wewenang."
- Pasal 5 huruf b berbunyi, "PNS dilarang menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan."
- Pasal 5 huruf f berbunyi, "PNS dilarang memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah."
- Pasal 5 huruf g berbunyi, "PNS dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan."
- Pasal 5 huruf h berbunyi, "PNS dilarang melakukan kegiatan yang merugikan negara."
- Pasal 5 huruf k berbunyi, "PNS dilarang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan."
- Pasal 5 huruf l berbunyi, "PNS dilarang meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan."