"Tiga hari ini saya berasa kena prank, Mas," ucap seorang pejabat yang baru tiga hari ini bergabung.
"Prank gimana, Mas?" pejabat lama merespons.
"Saya sampai ruangan kerja kantor jam tujuh lebih tiga puluhan, belum ada pegawai lain."
Sejak diberlakukannya kebijakan mengisi presensi secara daring dan flexible time 90 menit, fenomena sepinya ruangan kantor di pagi hari memang sangat terasa. Jangankan pukul tujuh lebih tiga puluhan, sampai pukul sembilanan pun, kadang ruangan kerja belum mendapatkan kehangatan dari kehadiran para pegawainya.
Tak hanya dari pejabat baru, keluhan senada pun didapat dari beberapa pejabat lama yang notabene adalah generasi X.
Namun, meski sebagian besar dimanfaatkan oleh generasi Y dan Z, bukan berarti tidak ada pegawai dan pejabat dari generasi X yang memanfaatkan flexible time.
Beberapa literatur mengatakan bahwa tingkat fleksibiltas generasi Y dan Z jauh lebih tinggi dibanding generasi X. Namun, dalam hal pemanfaatan flexible time ini, rupanya generasi X tidak mau ketinggalan.
Terkait adanya COVID-19, sistem kerja yang memberlakukan adanya Work from Home (WfH), mengisi presensi secara daring, dan flexible time ini memang dinilai efektif dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Bahkan berdasar evaluasi yang ada di kementerian, kinerja pegawai dan organisasi masih terjaga, bahkan menjadi lebih efektif.
Terlepas dari memang aturannya mengakomodasi dan hasil evaluasinya efektif, keluhan pejabat baru dan beberapa pejabat lama di atas tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Dalam praktiknya, kenyamanan flexible time 90 menit sering kali menghambat kegiatan kantor yang dijadwalkan di pagi hari. Seakan menjadi sebuah kelaziman suatu acara internalisasi, sosialisasi, atau lainnya dimulai 60 menit lebih lambat dari jadwal karena mesti menunggu hadirnya audiens pegawai dan pejabat.