Keheranan Pelatih Carter sesaat masuk lapangan melihat pemandangan tak biasa langsung direspons oleh beberapa anggota tim, “Pak, meraka bisa melepaskan rantainya, tapi mereka (para orang tua murid memaksa membuka lapangan) tak bisa memaksa kami bermain.”
“Kami telah memutuskan untuk menyelesaikan yang kau mulai, Pak.” “Ya, tolong tinggalkan kami, Coach. Ada hal yang harus dilakukan, Pak.”
Setelah berhasil mendapatkan rata-rata nilai akademis 2,3, tim Richmond melanjutkan kemenangan beruntunnya di sisa musim berjalan.
Namun sayang, tragis dan dramatis mengakhiri perjalanan Richmond di musim itu. Pertandingan puncak musim melawan tuan rumah St. Francis, Richmond harus merasakan kekalahan pertamanya. Skor tipis 70-68 didapat saat St. Francis mencetak 2 poin di detik akhir pertandingan.
Di sela-sela merayakan kemenangan, sikap respek ditunjukkan pemain andalan St. Francis kepada pemain andalan Richmond, “Kau hebat, kawan. Aku bersungguh-sungguh.”
Raut kesedihan tampak di ruang ganti Richmond.
Tak mau timnya larut dalam kesedihan, Pelatih Carter menyampaikan kebanggaan dan closing statement, “...4 bulan lalu, saat aku mengambil pekerjaan ini, aku mempunyai rencana. Rencana itu gagal. Aku datang untuk melatih pemain basket, namun kalian berubah menjadi pelajar. Aku datang untuk melatih anak-anak, dan kalian berubah menjadi pria. Untuk itu, aku berterima kasih.”
“Jika sekarang ada seseorang datang dan menawarkan pekerjaan melatih di sekolah apa pun di California, kalian tahu sekolah mana yang akan kupilih?”
“St. Francis?” satu orang anggota tim spontan merespons, diikuti tawa lebar dari seluruh anggota tim.
Mendapat jawaban yang tidak sesuai, Pelatih Carter melempar tanya kepada Kenyon.
“Richmond?” ragu dan lirih Kenyon bersuara.