Jari iseng ini mengirim pertanyaan nakal kepada mereka bertiga, "Wah udah gak ada lagi dong gratifikasi di situ buat petugas?"
Satu dari mereka bertiga menjawab dengan emoji senyum tipis yang sama-sama dipahami maksudnya oleh penanya dan penjawab. Sedangkan dua dari mereka jelas menjawab, "Masih ada Pak, rutin."
Saat dikejar dengan pertanyaan, "Koq masih ada sih?" mereka menjawab, "Habisnya gimana Pak, kalo di-stop ... pelayanan terhambat."
Sebelum lebih jauh percakapan, terdengar nyaring alarm HP, "Ah, untung hanya mimpi."
Trauma mimpi Maret 2021 tersebut akan jadi kenyataan, mungkin ada baiknya instansi pemerintah yang sedang mencanangkan menggapai predikat WBK/WBBM mau lebih jujur lagi terhadap kondisi sebenarnya di lapangan, bukan hanya sebatas perbaikan administratif.
Bisa saja hasil survei pengguna jasa yang menunjukkan data makin sedikitnya atau mungkin tidak adanya praktik penerimaan gratifikasi terkait jabatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.
Alangkah ironi manakala upaya perbaikan, entah itu topengnya reformasi, transformasi atau apalah, tetapi tidak diawali dengan sikap kejujuran bahwa sebenarnya masih ada praktik penerimaan gratifikasi terkait jabatan, atau bahkan mungkin suap-menyuap.
Sebagaimana satu slogan KPK dalam upayanya memberantas korupsi, Berani Jujur Hebat, dibutuhkan keberanian untuk jujur mengatakan kondisi sebenarnya yang ada, bukannya hanya sekadar propaganda mempercantik kulit tanpa mengedepankan esensi perbaikan itu sendiri.
Lalu, apa jawaban Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti Korupsi KPK? Ah ... Penulis pun lupa detailnya seperti apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H