Pemindahan pegawai dari satu jabatan ke jabatan lain. Itulah pengertian yang disajikan oleh KBBI online atas kata mutasi.
Delapan menit setelah presensi pulang, masuk pesan Whatsapp dari seseorang, "Mas Bro, kapan mutasi?" Sebuah tanya yang bukan tentang kapan saya akan mutasi, melainkan kapan akan ada mutasi.
Jujur ... bingung menanggapi pertanyaan di atas yang sebelumnya sudah beberapa kali hadir dari beliau ini. Bingung harus jawab apa karena tidak tahu-menahu seputar info kapan ada mutasi.
Sebuah sticker bertuliskan, "Ngene iki, jawabku pie?" (kalau begini, jawabku bagaimana) spontan mambalas pesan pembuka tadi.
Pesan dari sana berlanjut, "Pusyianggg (pusing) ... udah 3 tahun nih." Teringat pula ucapan beliau beberapa waktu sebelumnya lewat telepon, "Dirimu mah baru setengah tahun sih ya ... jadi masih santai."
Makin bingung, kembali spontan dibalas dengan sticker bertuliskan, "Sabar, orang sabar pasti kesel."
Enggan berkomentar seputar kebijakan pola mutasi, hanya sekadar teringat ucapan seorang pimpinan saat bertugas di Papua yang kurang lebihnya, "Saya mau kita semua di sini yang mayoritas pendatang, kerja tidak sekadar menunggu waktu giliran mutasi berikutnya. Mari berikan terbaik yang bisa kita lakukan."
Sebagai "seorang petualang mutasi" yang baru bertugas lima penempatan di luar homebase sebagaimana keterangan yang tertulis pada akun kompasiana, sedikit banyaknya bisa berempati kepada rekan-rekan yang sekarang bertugas jauh dari homebase dan tidak membawa serta istri-anak. Keluhan utama tentunya tak ada orang-orang tercinta yang menyambut kepulangan kita tiap hari kerjanya.
Kembali ke ucapan pimpinan di satu paragraf sebelumnya.
Di hari pertama bertugas di tempat yang baru karena mutasi, dua pertanyaan yang tak ditemukan jawabannya akan muncul:
- Sampai kapan bertugas di sini? dan
- Lalu, berikutnya akan dimutasi ke mana?
Dua pertanyaan tersebut baiknya disikapi dengan mencoba menikmati kerja di tempat yang baru, (1) segera pelajari segala sesuatunya, (2) temukan yang bisa dilakukan perbaikan, (3) lalu lakukan apa yang bisa dikerjakan demi perbaikan dan kebaikan. Tiga hal yang saya tafsirkan sebagai implementasi ucapan pimpinan di atas.
Sikap sebaliknya, dengan hanya menghitung hari, menghitung minggu, menghitung bulan, lalu menghitung tahun, tanpa berbuat banyak yang positif ... justru akan merusak diri sendiri.
Setelah berbuat positif sesuai kemampuan, cukuplah menghitung minggu, "Udah empat minggu nih gak pulang, waktunya pulang."
Memang sih terkesan klise dan sok bijak, tetapi jujur ... tak ada cara lain dalam kondisi seperti itu.
Potensi pengganggu jiwa bagi pejuang mutasi yang berstatus bulok (bujang lokal) pastinya saat akhir pekan, hari Sabtu dan Minggu.
Seperti pesan Whatsapp yang masuk di pagi hari Sabtu saat istirahat di warung kopi, sesaat setelah selesai jalan sehat, "Mas, di mana posisi? Kangen, biasanya ada teman luntang-lantung di sini."
Kali ini, pesan tersebut bukan dari cewek, bukan pula dari istri orang, melainkan dari rekan kerja saat bertugas di Papua yang kini masih bertugas di sana.
Satu jam kiranya kami bercakap secara daring, mungkin tercatat sebagai rekor percakapan daring terlama saya dengan sesama cowok.
Percakapan diawali dengan saling bertanya dan menjawab sudah berapa lama tidak pulang. Dari sini dijawab, "Baru empat minggu." Dari sana dijawab, "Sudah dua bulan." Dua bulan tidak pulang dari Papua menemui isti-anak di Jakarta? Otak yang Jumat sore sempat agak miring terganggu, seakan menemukan cara untuk kembali lurus.
Tema berikutnya dari percakapan itu adalah seputar mengisi waktu akhir pekan, hari-hari di mana seakan waktu yang paling menakutkan.Â
"Tidak menjadi miring dan sehat aja sudah bagus," pikiran nakal seperti itu sering muncul saat bertugas di sana.
Masing-masing pribadi punya cara sendiri dalam membunuh akhir pekan. Di saat para rekan kerja asyik riang berenang di pantai yang memang banyak ditemukan di Papua, saya lebih memilih berdiam diri di kamar bercengkerama dengan laptop.
Belum mengenal Kompasiana, yang dilakukan hanya sekadar tipis-tipis  menyelesaikan tugas kantor semacam membuat kajian, bikin slide berbagai macam materi, rangkuman, dan lainnya.
Meski semua itu tidak juga membuat saya pintar, tapi setidaknya ada sesuatu yang nyaman dikerjakan.
Semua hal itu seakan membenarkan ucapan para kerabat yang berkomentar, "Wah gak berasa ya, ternyata udah tiga tahun tugas di sana."
Halo, tak terasa? Mungkin iya sih karena bukan mereka sebagai pelakunya.
Kembali ke percakapan Sabtu pagi sesama cowok.
Saat didoakan, "Insya Allah segera ada mutasi. Semoga ente bisa gabung ke sini, Boss. Aamiin." Dijawabnya, "Saya mah berharap dan berdoa yang terbaik saja, Mas." Sebuah jawaban "politis" seperti halnya saya saat di sana.
Di akhir percakapan, dia pamit dan berterima kasih telah bersedia bercakap-cakap, sembari senyum teriring ucapan dari sini,Â
"Tetap sehat dan semangat ya Boss. Klise sih, tapi ... mau ngomong apa lagi coba."
Wasalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H