Satu jam kiranya kami bercakap secara daring, mungkin tercatat sebagai rekor percakapan daring terlama saya dengan sesama cowok.
Percakapan diawali dengan saling bertanya dan menjawab sudah berapa lama tidak pulang. Dari sini dijawab, "Baru empat minggu." Dari sana dijawab, "Sudah dua bulan." Dua bulan tidak pulang dari Papua menemui isti-anak di Jakarta? Otak yang Jumat sore sempat agak miring terganggu, seakan menemukan cara untuk kembali lurus.
Tema berikutnya dari percakapan itu adalah seputar mengisi waktu akhir pekan, hari-hari di mana seakan waktu yang paling menakutkan.Â
"Tidak menjadi miring dan sehat aja sudah bagus," pikiran nakal seperti itu sering muncul saat bertugas di sana.
Masing-masing pribadi punya cara sendiri dalam membunuh akhir pekan. Di saat para rekan kerja asyik riang berenang di pantai yang memang banyak ditemukan di Papua, saya lebih memilih berdiam diri di kamar bercengkerama dengan laptop.
Belum mengenal Kompasiana, yang dilakukan hanya sekadar tipis-tipis  menyelesaikan tugas kantor semacam membuat kajian, bikin slide berbagai macam materi, rangkuman, dan lainnya.
Meski semua itu tidak juga membuat saya pintar, tapi setidaknya ada sesuatu yang nyaman dikerjakan.
Semua hal itu seakan membenarkan ucapan para kerabat yang berkomentar, "Wah gak berasa ya, ternyata udah tiga tahun tugas di sana."
Halo, tak terasa? Mungkin iya sih karena bukan mereka sebagai pelakunya.
Kembali ke percakapan Sabtu pagi sesama cowok.
Saat didoakan, "Insya Allah segera ada mutasi. Semoga ente bisa gabung ke sini, Boss. Aamiin." Dijawabnya, "Saya mah berharap dan berdoa yang terbaik saja, Mas." Sebuah jawaban "politis" seperti halnya saya saat di sana.