Mohon tunggu...
Darmawan bin Daskim
Darmawan bin Daskim Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang petualang mutasi

Pegawai negeri normal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bagaimana Cara Memberikan Presentasi Internalisasi Antikorupsi yang Menarik?

18 Juni 2021   14:34 Diperbarui: 18 Juni 2021   14:34 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda bosan saat mengikuti internalisasi antikorupsi? Atau sebagai pembicara, Anda mendapatkan audiensi terlihat bosan dengan presentasi internalisasi antikorupsi yang Anda berikan?

Berikut akan kita bahas bagaimana cara memberikan presentasi internalisasi antikorupsi yang menarik agar audiensi tidak bosan. Cara ini dikhususkan untuk internalisasi antikorupsi di lingkungan institusi pelayan publik. Namun, tidak menutup kemungkinan cara ini pun dapat digunakan di institusi non pelayan publik.

Memberikan internalisasi antikorupsi di lingkungan institusi pelayan publik menjadi sebuah tantangan tersendiri. Tidak mudah membuat audiensi tertarik dengan presentasi yang kita bawakan. Beberapa penyebabnya adalah:

  1. Internalisasi seputar antikorupsi sudah sering diadakan;
  2. Audiensi cenderung terpaksa mengikuti internalisasi karena diperintah atasan; atau
  3. Bahkan mungkin karena di lingkungan audiensi masih ada praktik-praktik korupsi.

Seiring dengan Program Reformasi Birokrasi, internaliasi antikorupsi di lingkungan institusi pelayan publik kini menjadi kegiatan rutin yang wajib diadakan tiap tahunnya. Selain pada momen Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember yang diperingati tiap tahunnya, pada momen-momen khusus lainnya pun sering diadakan internalisasi antikorupsi. Bahkan, e-learning Bimbingan Teknis Pengendalian Gratifikasi menjadi kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh pegawai di institusi kami.

Pertanyaan klisenya, "Apakah sudah efektif membangun perilaku dan budaya antikorupsi?"

Keterpaksaan audiensi mengikuti internalisasi antikorupsi menambah kesulitan dalam menciptakan internalisasi yang menarik. Hanya sebatas gugur kewajiban melaksanakan tugas dari atasan, audiensi hadir dan mengisi daftar hadir, selesai.

Masih adanya praktik korupsi di lingkungan audiensi menyulut resistansi audiensi terhadap internalisasi antikorupsi. Segala hal yang berbau internalisasi antikorupsi seakan menjadi sesuatu yang tabu bagi mereka.

Mungkin dalam benak mereka, "Ah basi, omong kosong."

Itulah 3 penyebab dari pihak audiensi mengapa internalisasi antikorupsi menjadi tidak menarik. Tiga hal yang seharusnya menjadi perhatian pembicara saat akan memberikan presentasi internalisasi antikorupsi.

Sebelum masuk ke penyusunan materi presentasi, ada beberapa persyaratan bagi pembicara agar internalisasi antikorupsi menjadi menarik, yaitu:

  1. Berasal dari internal institusi audiensi;
  2. Pengalaman kerja minimal 10 tahun;
  3. Mengalami beberapa masa perjalanan institusi;
  4. Memahami sebagian besar proses bisnis institusi;
  5. Memahami modus-modus praktik korupsi di institusinya;
  6. Sudah bertransformasi menjadi tidak melakukan praktik korupsi;
  7. Punya reputasi dalam bidang antikorupsi; dan/atau
  8. Seorang pejabat (minimal middle manager) dari unit yang punya power atau kapasitasnya berhubungan dengan antikorupsi.

Persyaratan pembicara nomor (1) berasal dari internal institusi audiensi, (2) pengalaman kerja minimal 10 tahun, dan (3) mengalami beberapa masa perjalanan institusi menjadi modal kuat untuk menerapkan salah satu tips public speaking, yaitu pahami audiensi.

Untuk memahami siapa audiensi internalisasi, bisa dilihat dari (a) agamanya, (b) sukunya, (c) suka atau tidak sukanya apa, (d) usianya, (e) tokoh idolanya, (f) pendidikannya, (g) status atau pangkatnya, dan (h) kebutuhannya apa agar connected sehingga pembicara tepat memilih bahasa, diksi, dan tone (leveling dan conditioning) dalam presentasinya.

Bagi pembicara dari eksternal institusi tentunya lebih sulit untuk memahami siapa audiensinya.

"Pembicara sering terjebak oleh profesi dan ketinggian ilmunya sehingga tidak menggunakan bahasa yang mudah dimengerti audiensinya. Makin tinggi sekolah seseorang atau makin tinggi status seseorang, kadang-kadang makin tidak efektif melakukan komunikasi," ucap Helmy Yahya (2020).

Persyaratan pembicara nomor (1) berasal dari internal institusi audiensi, (2) pengalaman kerja minimal 10 tahun, (3) mengalami beberapa masa perjalanan institusi, (4) memahami sebagian besar proses bisnis institusi, (5) memahami modus-modus praktik korupsi di institusinya, dan (6) sudah bertransformasi menjadi tidak melakukan praktik korupsi menjadi modal kuat untuk menerapkan satu tips public speaking lainnya, yaitu empati.

Empati adalah put yourself in their shoes, membayangkan jika kita yang menjadi audiensi. Menurut KBBI online, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Untuk berempati, definisikan (1) apa yang dibutuhkan audiensi dan (2) ide apa untuk memenuhi kebutuhan audiensi tersebut.

"Bayangkan, audiens mungkin sudah menyaksikan ribuan kali public speaking yang membosankan dalam hidupnya," Helmy Yahya (2020).

Empati adalah tips lanjutan public speaking dari tips sebelumnya, pahami siapa audiensi.  Salah satu unsur tips pahami siapa audiensi adalah liat dari apa suka atau tidak sukanya audiensi yang dalam hal ini mungkin audiensi masih melakukan praktik-praktik korupsi dan tentunya tidak suka mendengarkan materi presentasi internalisasi antikorupsi. Di sinilah pembicara harus dapat berempati dalam artian bukan membenarkan atau mendukung, melainkan berusaha mengerti terlebih dahulu mengapa mereka masih melakukannya.

Untuk definisikan kebutuhan audiensi, kebutuhan mereka adalah pencerahan melalui ide presentasi yang menarik dan membumi, bukan presentasi yang melangit ataupun seakan menggurui.

Selanjutnya adalah materi presentasi internalisasi antikorupsi yang secara empiris beberapa kali berhasil menarik atensi audiensi.

1. Persepsi Masyarakat terhadap Korupsi di Institusi Audiensi

Setelah greeting (salam) dan adressing (menyapa) yang merupakan bagian opening presentasi, pembicara memperkenalkan diri secara singkat bilamana master of ceremony (MC) atau moderator tidak membacakan cucriculum vitae (CV) singkat pembicara.

Dalam perkenalan diri tersebut, pembicara dapat memanfaatkannya untuk menarik atensi pertama dari audiensi dengan melempar pertanyaan seputar CV singkat pembicara.

Selanjutnya sebagai materi pertama, pembicara dapat memutarkan cuplikan video seputar persepsi masyarakat terhadap praktik korupsi di institusi bersangkutan.

Pemutaran video tersebut merupakan tips public speaking dalam membuat opening yang memukau yang salah satunya adalah melalui visual impact.

persepsi masyarakat/Dokpri
persepsi masyarakat/Dokpri
Sebagai upaya menarik atensi yang kedua, pembicara dapat memancing pertanyaan kepada audiensi mengenai tanggapan atas cuplikan video yang selesai diputar tadi. Dari pengalaman, audiensi yang mayoritas generasi milenial sangat antusias memberi tanggapan. Umumnya mereka menanggapi kurang lebih, "Itu adalah cerita masa lalu, kini kita sudah berani berubah menjadi lebih baik dengan tidak ada lagi melakukan praktik-praktik korupsi."

Setelah mendapatkan tanggapan, pembicara dapat memancing respons audiensi terhadap kondisi sekarang kira-kira bagaimana.

bagaimana dengan sekarang/Dokpri
bagaimana dengan sekarang/Dokpri
Pembicara akan mendapatkan jawaban jujur audiensi berdasarkan pengalaman dan pengamatan mereka. Untuk mengecek cocok tidaknya antara jawaban audiensi dan fakta, pembicara bisa menyajikan data resmi semisal hasil survei pengguna jasa yang tiap tahun dilaksanakan.

data masih ada korupsi/Dokpri
data masih ada korupsi/Dokpri
Di sini pembicara mengajak audiensi melihat, membaca, dan merenungkan data yang mecerminkan fakta bahwa masih ada praktik korupsi di institusi tersebut.

2. Pelayanan Prima Tanpa Korupsi

Selain masih adanya praktik korupsi, data hasil survei pengguna jasa mengatakan bahwa kualitas layanan menjadi lebih memuaskan jika adanya praktik korupsi.

kualitas layanan ada korupsi/Dokpri
kualitas layanan ada korupsi/Dokpri
Dengan kata lain, kualitas layanan menurun jika tidak adanya praktik korupsi. Seperti peribahasa Bagai Makan Buah Simalakama, satu sisi bagus tidak ada praktik korupsi, tapi sisi lainnya jelek karena kualitas layanan menjadi menurun.

komitmen kuat/Dokpri
komitmen kuat/Dokpri
Pembicara harus menekankan perlunya komitmen semua unsur institusi, mulai atasan sampai dengan bawahan tanpa terkecuali. Akan menjadi sia-sia bilamana perbaikan dengan hilangnya praktik korupsi tetapi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas layanan publik. Harus ada jaminan yang diberikan kepada para pengguna jasa bahwa meski tanpa korupsi, layanan publik tetap akan diberikan secara prima.

jaminan kualitas layanan/Dokpri
jaminan kualitas layanan/Dokpri
Tanpa itu, pengguna jasa lebih memilih memberikan suap, pelicin, setoran, gratifikasi, atau apa pun itu namanya kepada pelayan publik demi mendapatkan layanan yang memuaskan. 

Terbukti dari data hasil survei pengguna jasa di atas yang mengatakan mayoritas 60% lebih responden menyatakan bahwa setelah melakukan praktik pungli, pelayanan menjadi lebih memuaskan dibanding tidak melakukan praktik pungutan liar.

3. Mengapa Masih Ada Korupsi di Institusi tersebut dan Bagaimana Cara Menghilangkannya?

Sebagai materi penutup yang juga inti, pembicara kembali dapat mengikutsertakan audiensi untuk menjawab pertanyaan, "Mengapa masih ada korupsi di institusi kita?" Beberapa pendapat akan muncul dari audiensi yang mungkin menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut.

Setelah sekian pendapat terkumpul, pembicara dapat membahas satu per satu jawaban-jawaban tersebut.

kemungkinan penyebab korupsi/Dokpri
kemungkinan penyebab korupsi/Dokpri
Tuntutan gaya hidup menjadi jawaban pertama. Bagi yang terbiasa melakukan praktik korupsi tentunya gaya hidup meningkat menyesuaikan dengan banyaknya uang yang diterima. Dengan berjalannya Program Reformasi Birokrasi, aturan kebijakan institusi makin tegas melarang segala jenis praktik korupsi. 

Namun, karena terbawa gaya hidup tinggi, beberapa pegawai masih menerima suap, setoran, mingguan, bulanan, dan bentuk gratifikasi lainnya dari pengguna jasa walaupun sudah mendapatkan remunerasi. 

Bagi mereka, penghasilan resmi ditambah remunerasi dirasa kurang menunjang hidup mereka, padahal bagi yang lainnya sudah dirasakan cukup, bahkan mungkin lebih.

Terpengaruh lingkungan sekitar menjadi jawaban kedua. Pilihan antara memilih korupsi dan tidak banyak dipengaruhi lingkungan. Lingkungan yang masih menjalankan praktik korupsi akan membuat pegawai mengikuti jalan tersebut. 

Sungguh sulit dan aneh saat seorang pegawai memutuskan pilihan tidak melakukan korupsi, tapi teman sejawat satu ruangan atau bagian atau kantor masih melakukan korupsi. Umumnya, mayoritas lebih kuat pengaruhnya bagi minoritas.

Kurangnya teladan pimpinan menjadi jawaban ketiga. Sungguh besar teladan seorang pemimpin. Dengan kuasanya, pemimpin dapat merubah yang buruk menjadi baik, begitu pun sebaliknya. 

Idealnya, seorang pemimpin berani jelas untuk mengatakan tidak korupsi dibuktikan dengan sikap nyata dan tegas. Jangan menjadikan kebijakan antikorupsi ini menjadi abu-abu. Kebijakan abu-abu mudah disalahartikan dan disalahgunakan bawahan.

Tuntutan lingkungan kerja menjadi jawaban keempat. Masih menjadi masalah klise bilamana satu kantor mengadakan kegiatan yang cenderung harus dilakukan, tapi tidak ada anggaran resminya, tidak masuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). 

Contoh kecilnya adalah bilamana kantor yang merupakan satuan kerja terbawah mendapatkan kunjungan kerja pejabat dari kantor wilayah yang menjadi atasannya. Sudah menjadi kebiasaan, kantor tersebut menjamu para pejabat kantor wilayah, minimal makan bersama di restoran yang representatif. Dananya dari mana? 

Di DIPA tidak ada. Haruskah seluruh pegawai di kantor yang menjadi tuan rumah itu patungan untuk biaya makan bersama pejabat kantor wilayah? Ini yang menjadi masalah belum terselesaikan dan menjadi peluang praktik korupsi, memanfaatkan alasan menjamu pejabat dari kantor wilayah untuk mendapatkan gratifikasi dari pengguna jasa.

Belum adanya kesadaran individu menjadi jawaban kelima. Sebesar apa pun godaan korupsi, bila seseorang sudah mempunyai kesadaran antikorupsi yang kuat, tidak akan melakukan praktik korupsi. 

Kesadaran antikorupsi ini bisa tercipta sejak awal pegawai itu diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena memang kesadarannya sudah terbentuk atau melalui proses pendek ataupun panjang.

Untuk kesekian kalinya pembicara dapat mengikutsertakan audiensi untuk membahas dari kelima jawaban tersebut, kira-kira mana yang paling berpengaruh? Tentunya jawaban kelima yang paling berpengaruh.

Jawaban kelima tersebut sejatinya bisa menjadi penentu sejauh mana efektifnya upaya membangun perilaku dan budaya antikorupsi yang menjadi tujuan internalisasi antikorupsi. 

Lalu bagaimana cara menciptakan kesadaran individu akan antikorupsi? Berikut ini faktor yang kiranya dapat menumbuhkan kesadaran individu antikorupsi, yaitu (1) sifat penakut kepada hukum negara, (2) paham, tunduk, dan patuh aturan agama, dan (3) mengalami kejadian musibah secara pribadi atau pun keluarga.

kesadaran antikorupsi
kesadaran antikorupsi
Baca juga: Yuk ah Berhenti Sekarang tidak Terima Gratifikasi

Tidak seperti materi presentasi internalisasi antikorupsi yang biasa disampaikan pembicara dari KPK dan Inspektorat Jenderal, materi presentasi di atas hanya mencakup 3 materi utama. Ini sesuai dengan tips public speaking berikutnya, yaitu sampaikan pesan yang efektif.

"Berdasarkan penelitian, otak manusia hanya mampu menerima 3 pesan dalam satu waktu," ucap Helmy Yahya (2020).

Berdasarkan pengalaman, presentasi berisi 3 materi utama di atas yang berisikan banyak dialog interaktif bersama audiensi menghabiskan waktu sekitar 90 menit lebih.

Tidak mudah memang menghilangkan praktik korupsi. Mudahan tulisan "Bagaimana Cara Memberikan Presentasi Antikorupsi yang Menarik?" ini setidaknya dapat memberikan sumbangsih nyata dalam program pencegahan korupsi melalui upaya pembangunan perilaku dan budaya antikorupsi di institusi pelayan publik khususnya, dan Indonesia umumnya.

Tentunya tulisan "Bagaimana Cara Memberikan Presentasi Antikorupsi yang Menarik?" ini banyak kekurangan karena kapasitas saya yang sangat terbatas, hanya sekadar berdasarkan sedikit pengalaman dan pengamatan. Karenanya saya mohon maaf atas semua kelancangan, kekurangan, dan kesalahan.

**

Terima kasih banyak. Wasalam.

**

Referensi:

KBBI online

bintalnas djbc. TOT Bintal 2020 Helmy Yahya. Diakses pada 11 Juni 2021, dari https://www.youtube.com/watch?v=8rI3iUY-IXE

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun