X: "Mah, rumah dan mobil buat Mamah aja."
Y: "Koq gitu sih Pah? Dalam rangka apa nih?"
Tanpa perdebatan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istrinya.
Syariah sebagai ketentuan tertinggi mewajibkan hal tersebut, pun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Yang dimaksud nafkah adalah berbentuk materi yang sangat mendasar, yaitu (1) pangan/makanan; (2) papan/rumah; dan (3) sandang/pakaian. Implementasinya seorang suami wajib menyediakan makanan siap santap, rumah siap huni baik lewat beli ataupun sewa, dan pakaian siap pakai untuk istrinya.
Mengutip buku Hukum Fiqih Seputar Nafkah karya Maharati Marfuah, Lc, penerbit Rumah Fiqih Publishing, cetakan pertama 6 Juni 2020, "Para ulama menyebutkan bahwa suamilah yang wajib memberi makanan terhadap istrinya, makanan itu berupa makanan yang siap santap. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa istri tak wajib memasakkan untuk suaminya. Jika seorang suami pulang membawa bahan makanan mentah, istri tak bisa dipaksa untuk memasakkannya. Diantara para ulama itu adalah al-Kasani dalam mazhab Hanafi, dan juga Imam as-Syirazi dalam mazhab Syafi'i."
Sungguh sangat beruntung para suami yang beristrikan Warga Negara Indonesia (WNI). Istri secara sukarela bersedia memasakkan makanan buat suami, menyucikan pakaian suami, menjaga, membersihkan, dan merawat rumah. Meski begitu, tak sepatutnya suami perlakukan istri layaknya Asisten Rumah Tangga (ART).
Dalam pemenuhan kewajibannya, setelah 20 tahun sang suami menyediakan rumah dengan sewa, akhirnya dia mampu membeli sebuah rumah untuk digunakan dirinya, anaknya, dan istrinya yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan. Selain nafkah yang sangat mendasar/primer, sang suami pun mampu memberi nafkah sekunder berupa mobil.
Rumah dan mobil yang sumber uang pembeliannya 100% berasal dari penghasilan suami karena istri tidak berpenghasilan, muncul pertanyaan, "Milik siapakah rumah dan mobil tersebut? Milik suami seorang ataukah otomatis menjadi milik bersama suami dan istri?"
Bila jawaban Anda adalah otomatis menjadi milik bersama suami dan istri berarti Anda merujuk pada pemahaman istilah gono gini yang dikenal banyak masyarakat Indonesia, istilah lainnya harta bersama.
Mengacu Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), "Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antar suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri."
Mengacu Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, "(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain."
Mengacu Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI), "Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri."
Lain dengan pemahaman banyak masyarakat Indonesia, KUHPer, UU Perkawinan, dan KHI, dalam Syariah justru tidak dikenal harta bersama.
Mengutip buku Gono-Gini Antara Adat, Syariat, dan Undang-Undang karya Ahmad Zarkasih, Lc, penerbit Rumah Fiqih Publishing, cetakan pertama 15 November 2018, "bahwa tidak ada istilah harta bersama dalam syariah, para ulama dan fuqaha pun tidak membahas itu sebagai bagian dari syariah dalam kitab-kitab mereka. Dan mereka juga telah bersepakat bahwa perkawinan tidak bisa merubah status kepemilikan harta salah satu pasangan menjadi harta bersama. Sama sekali tidak ada."
Dalam syariah, kepemilikan harta itu bisa berubah atau berpindah kepemilikan dengan satu dari 4 cara, yaitu: (1) waris; (2) wasiat; (3) hibah; dan (4) jual beli. Perkawinan tidak ada dalam 4 cara ini, jadi memang tidak bisa kemudian hanya karena perkawinan harta menjadi dimiliki bersama.
Selain bab nafkah suami kepada istri dan bab harta suami istri, ada satu bab lagi yang ada kaitannya, yaitu bab mawaris. Benang merahnya adalah bahwa antara suami dan istri akan saling mewarisi. Istri akan mewarisi (mendapatkan) bagian harta suami bilamana suami meninggal duluan (1/4 bagian harta suami bila suami tidak mempunyai anak, 1/8 bagian harta suami bila suami mempunyai anak) begitu pun sebaliknya suami akan mewarisi harta istri bilamana istri meninggal duluan (1/2 bagian harta istri bila istri tidak mempunyai anak, 1/4 bagian harta istri bila istri mempunyai anak).
Manakala suami meninggal tentunya akan lebih memudahkan para ahli waris bila sebelumnya (semasa masih hidup) telah ditentukan mana harta suami, mana harta istri. Rumah dan mobil yang telah diserahkan kepada istri (contoh dialog di awal tulisan) bukan harta suami lagi sehingga rumah dan mobil tersebut tidak masuk dalam harta warisan yang harus dibagi kepada para ahli waris. Carilah harta yang benar-benar masih menjadi milik suami untuk dibagikan warisannya kepada istrinya, anak lelakinya, anak perempuannya, ibunya, atau bapaknya.
Berlatar belakang rasa cinta dan kasih sayang suami kepada istrinya, sah-sah saja suami menghadiahkan rumahnya, mobilnya, atau harta lainnya kepada istrinya. Akad yang dipakai secara syariah adalah hibah. Beda dengan waris dan wasiat, akad hibah ini bebas diberikan kepada siapa saja semasa pemberi dan penerima masih hidup, besaran materinya pun bebas tak dibatasi.
X: "Bukan dalam rangka apa-apa, sekedar hadiah dari Papah ke Mamah aja."
Y: "Ooooh, terima kasih banyak, Sayang."
X: "Sama-sama, Sayang."
Untuk amannya, proses hibah tersebut perlu dibuatkan hitam di atas putihnya. Juga tak kalah pentingnya adalah para calon ahli waris mengetahuinya. Dan tentunya yang paling penting dari semua itu adalah memberi pemahaman tentang mawaris kepada para calon ahli waris kita agar saat kita meninggal, mereka tidak perlu bersengketa dan melibatkan Pengadilan Agama yang menggunakan KHI sebagai acuan keputusan pengadilannya.
Merujuk buku Seri Fiqih Kehidupan (15) Mawaris karya Ahmad Sarwat, Lc., MA, penerbit DU Publishing, cetakan pertama September 2011, bahwa selain karena adanya ancaman Allah SWT dalam QS. An-Nisa' ayat 14, faktor lainnya mengapa kita harus belajar mawaris adalah karena ada perintah khusus Rosulullah SAW, "Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
Teringat ucapan anak pertama kami yang saat itu masih berumur 8 tahun manakala anak kedua kami lahir.
Z: "Waduh adik aku lelaki ya Mah?"
Y: "Iya Sayang, memangnya kenapa?"
Z: "Jatah warisan dia 2 kali lipat dari aku dong nantinya."
Wallahu 'alam.
Semoga ada manfaat, aamiin.
Terima kasih sampai akhir membacanya dan maaf atas salah dan jika tidak berkenan.
Ditulis saat dilanda rindu menggunung kepada calon ahli waris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H