Tahukah Anda bahwa Solo merupakan kota pergerakan dan Keraton Surakarta-lah yang menggerakkannya?
Banyak yang skeptis akan peran Solo (dan juga Keraton Surakarta) dalam mewujudkan kemerdekaan NKRI maupun dalam mempertahankannya. Bahkan, masyarakat Solo sendiri pun kebanyakan kurang tahu sejarah kotanya sendiri dan terkadang ikut-ikutan meremehkan Keraton Surakarta. Sayang sekali, padahal pada logo Kota Surakarta terpampang jelas gambaran sebuah tugu berbentuk lilin, itulah Tugu Lilin, tugu Kebangkitan Nasional yang dibangun dengan penuh perjuangan.
[caption id="" align="aligncenter" width="281" caption="Tampak gambaran sebuah tugu berbentuk lilin pada logo Pemkot Surakarta. Sumber wikipedia.org"][/caption]
Memang, Budi Utomo (1908) merupakan sebuah organisasi pergerakan yang berbasis pada budaya jawa, para pemimpinnya pun saat itu kebanyakan dari golongan "priayi" kalau bukan dari golongan berpendidikan. Berpindahnya kedudukan pengurus pusat BU ke Solo menjadi bukti keaktifan keraton Surakarta dalam memimpin pergerakan. Beberapa diantaranya Dokter Rajiman Widyodiningrat menjadi ketua periode 1908-1911, Suryosuparto (kemudian menjadi Mangkunagoro VII) ketua 1915-1916, serta Pangeran Woerjyaningrat yang menjadi ketua 1916-1921, 1923-1925, dan 1933-1935.
Pada tahun 1928, Budi Utomo memutuskan bergabung dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), suatu federasi partai-partai politik Indonesia yang terbentuk atas prakarsa PNI Sukarno.
Terjadi perubahan pada Budi Utomo saat konggres di Batavia tahun 1931 dimana dibuka keanggotaan untuk "semua orang Indonesia". Ejaannya pun diganti dari Budi Utomo menjadi Budi Utama. Perubahan Budi Utomo yang lebih nyata terjadi di Surakarta, dimana konferensi pimpinan pusat di Solo tahun 1932 menyatakan tujuan dalam anggaran dasar Budi Utomo berubah dari "perkembangan harmonis negeri dan rakyat Jawa dan Madura", menjadi demi "Indonesia Merdeka."
Konon, pada akhir bulan April 1933, PPPKI yang mengadakan rapat di Solo bersepakat hendak mendirikan tugu di Solo, guna memperingati 25 tahun kebangkitan nasional (berdirinya Budi Utomo). Organisasi-organisasi yang tergabung dalam PPPKI mengumpulkan iuran, lalu membentuk panitia yang terdiri atas tujuh orang. Panitia itu diberi nama Comite Tugu Kebangsaan, diketuai oleh Mr. Singgih, sementara ketua Budi Utomo saat itu adalah Pangeran Woerjaningrat dari Keraton Surakarta. Pangeran Woerjaningrat diserahi tugas membangun monumen sejarah pergerakan tersebut.
Rencana pendirian tugu tersebut hendak dirahasiakan dari Belanda. Rencananya peletakan batu pertama tugu tersebut akan dilaksanakan pada bulan Desember 1933 di kota Solo bertepatan dengan konggres PPPKI, namun ternyata residen Belanda, M.J.J. Treur mengetahui hal itu dan tidak menyetujuinya. Pada mulanya tugu tersebut akan dibangun di daerah Purwosari, Solo, namun tidak diizinkan. Kemudian letaknya dipindah ke Panggung Jebres karena dekat dengan jalan masuk ke Surakarta dari timur, tetapi hal tersebut juga ditolak Belanda. Lalu ijin lokasi di Ngapeman tengah kota Surakarta juga tidak dimungkinkan karena juga ditolak Belanda.
Pangeran Woerjaningrat, yang juga Ketua Neutraal Onderwijs atau sekarang lebih dikenal sebagai Yayasan Perguruan Murni di Solo, mempunyai gagasan membangun monumen di tanah milik yayasan yang diketuainya di daerah Penumping, Solo. Dia pun meminta restu pendirian tugu tersebut kepada Pakubuwono X, Susuhunan Keraton Surakarta karena tanah yang dipergunakan berada di bawah kekuasaan Pakubuwono X. Pakubuwono X yang mengetahui maksud dibalik penndirian tugu tersebut merestui pendirian tugu tersebut. Berita ini akhirnya terdengar oleh Geburnur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Maka Pakubuwono X pun diundang oleh Guberneur Jenderal B.C. de Jonge ke Batavia untuk menghentikan pendirian tugu itu, dengan maksud memadamkan semangat pergerakan di kalangan pribumi. Akan tetapi, Paku Buwono X tidak menanggapi hal itu dan tetap mendukung pendirian tugu tersebut di Penumping, Solo.
[caption id="" align="aligncenter" width="502" caption="Sunan Paku Buwono X mendukung pergerakan kebangsaan. (foto koleksi Tropen Museum)"]
Rencana pembangunan monumen pun dilanjutkan. Ada tiga rancang bangun pada waktu itu. Akhirnya desain Ir Soetedjo yang terpilih, karena isi dan maksud dalam desain tersebut sesuai dengan cita-cita dan cocok dengan realitas saat itu. Pelaksanaan pembangunan monumen dipercayakan pada RM Sosrosaputro. Direncanakan, setelah pembangunan tugu rampung akan diresmikan dengan upacara kenegaraan, bertepatan dengan Kongres Boedi Oetomo sekaligus Konferensi Perserikatan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) di Solo.
Ternyata, perjuangan pendirian tugu tersebut tidak hanya sampai di situ saja. Belanda masih saja berusaha menghalang-halangi penyelesaian monumen bersejarah tersebut.
Pada pertengahan bulan Oktober 1934 tugu hampir selesai dikerjakan, namun Residen Belanda, Teur, mengetahui hal itu dan berusaha menghalanginya. Akhirnya, dengan terpaksa Pangeran Woerjaningrat sebagai ketua Budi Utomo saat itu menyampaikan permintaan izin resmi kepada residen, bahwa tugu itu akan diresmikan dalam kongres yang akan diadakan tanggal 24-26 Desember 1934 di Solo, dengan prasasti: "Toegoe peringatan pergerakan Kebangsaan 1908- 1933".
Hasilnya? DITOLAK!
Tampaknya, kata "PERGERAKAN" merupakan momok bagi Belanda, ketakutan akan munculnya semangat kemerdekaan rakyat. Belanda memaksa agar kata "peringatan pergerakan kebangsaan 1908-1933" dihilangkan dan diganti dengan "peringatan Budi Utomo".
Maret 1935, Budi Utomo menyampaikan usul balasan kepada Belanda, yang menyatakan tetap menggunakan tahun "1908-1933"
Belanda memaksa agar tulisan pada prasasti diganti dengan "Toegoe peringatan kemajoean ra'yat 1908-1933" atau tugu akan dibongkar dalam sebulan!
Maka, tercapailah kesepakatan bunyi prasasti tugu tersebut sementara tugunya sendiri, yang berbentuk lilin dengan api menyala di bagian atas, masih tetap bisa dipertahankan. Atas pendirian tugu itu, dr. Soetomo berucap ''Van Solo begin de vyctory'' yang artinya "Dari Solo kemenangan dimulai"
Peresmian tugu tersebut sebagai tugu Kebangkitan Nasional baru dilaksanakan tahun 1948, di saat Indonesia sudah merdeka namun masih banyak konflik internal antar golongan waktu itu.
Tanggal 20 Mei 1948 diperingatilah 40 tahun Hari Kebangunan Nasional (istilah sebelum Kebangkitan Nasional) yang pertama. Ketuanya adalah Ki Hajar Dewantara, anggota Tjugito dari PKI, AM Sangadji dari Masyumi, Sabilal Rasjad dari PNI, Nyonya A. Hilal dari Kongres Wanita Indonesia, Tatang Mahmud dari IPPI dan H. Benyamin dari GPII. Di Ibukota Yogyakarta Presiden Soekarno berkata dalam pidatonya “Republik Indonesia mencetus sebagai akibat pengorbanan dan perjuangan pemimpin-pemimpin dimasa lampau”. Di gedung tersebut para wakil partai-partai politik tampak bersatu dalam keakraban. Hal ini tentu sangat diharapkan mengingat Belanda masih membayang-bayangi Indonesia saat itu. Tampak pula tokoh-tokoh seperti dr. Radjiman Wediodinongrat, Ki Hajar Dewantoro (ketua peringatan), AM Sangadji dan sebagainya.
Keesokan harinya, acara berpindah ke Solo. Solo saat itu berada dalam situasi yang penuh konflik, banyak pasukan Hijrah, Siliwangi, di Solo dan banyak pula partai serta golongan-golongan yang berbeda-beda pendapat di Solo. Di tengah-tengah suasana multikonflik tersebut, diresmikanlah "Tugu Peringatan Kebangunan Nasional". Setelah itu, pasukan-pasukan Hijrah di Solo dan sekitarnya beserta partai-partai politik yang saling bertengkar berpawai keliling Solo bersama.
Tugu Peringatan Kebangunan Nasional sekarang menjadi "Tugu Kebagkitan Nasional Peringatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia 25 Tahun-20 Mei 2908-1933". Masyarakat Solo lebih sering menyebutnya "Tugu Lilin".
Maka jelaslah bahwa Solo merupakan kota pergerakan dan keraton Surakarta ikut berperan dalam pergerakan tersebut. Konon, Pangeran Woerjaningrat sering berkeliling Nusantara dan tanah dari berbagai pulau di Nusantara dia kumpulkan untuk diletakkan sebagai dasar tugu tersebut. Hal ini menegaskan maksud dari tugu Lilin sebagai lambang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia!
Monumen berbentuk lilin setinggi 8 meter tersebut dengan api warna merah menyala tersebut masih berdiri hingga sekarang. Terletak di persimpangan jalan dr. Wahidin dan jalan Kebangkitan Nasional, Penumping, tugu ini setiap hari dilewati masyarakat Solo yang hilir mudik. Sayang, di antara ribuan orang yang melewatinya setiap hari, hanya sedikit yang paham bahwa tugu yang seharusnya menjadi kebanggan warga Solo tersebut ternyata merupakan tugu lambang perjuangan pergerakan Indonesia.
[caption id="attachment_110735" align="aligncenter" width="300" caption="Tugu Kebangkitan Nasional"][/caption] [caption id="attachment_110736" align="aligncenter" width="300" caption="Tugu berbentuk lilin dengan nyala api merah merupakan bukti Solo kota pergerakan."][/caption] (Foto Tugu Lilin/Tugu Kebangkitan Nasional merupakan dokumentasi pribadi penulis) Referensi: Raja Jawa Mengantar Revolusi, Tempo, 19 Agustus 1989. http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1989/08/19/BK/mbm.19890819.BK23408.id.html# Tugu Lilin Lambang Kebangkitan Nasional, Suara Merdeka, 28 Mei 2003 Tugu Lilin dan Sejumput Tanah Senusantara, Suara Merdeka, 6 November 2002 http://solokomunitas.wordpress.com/2009/04/ http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/13/kenapa-menggugat-boedi-oetomo/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H