Ternyata, perjuangan pendirian tugu tersebut tidak hanya sampai di situ saja. Belanda masih saja berusaha menghalang-halangi penyelesaian monumen bersejarah tersebut.
Pada pertengahan bulan Oktober 1934 tugu hampir selesai dikerjakan, namun Residen Belanda, Teur, mengetahui hal itu dan berusaha menghalanginya. Akhirnya, dengan terpaksa Pangeran Woerjaningrat sebagai ketua Budi Utomo saat itu menyampaikan permintaan izin resmi kepada residen, bahwa tugu itu akan diresmikan dalam kongres yang akan diadakan tanggal 24-26 Desember 1934 di Solo, dengan prasasti: "Toegoe peringatan pergerakan Kebangsaan 1908- 1933".
Hasilnya? DITOLAK!
Tampaknya, kata "PERGERAKAN" merupakan momok bagi Belanda, ketakutan akan munculnya semangat kemerdekaan rakyat. Belanda memaksa agar kata "peringatan pergerakan kebangsaan 1908-1933" dihilangkan dan diganti dengan "peringatan Budi Utomo".
Maret 1935, Budi Utomo menyampaikan usul balasan kepada Belanda, yang menyatakan tetap menggunakan tahun "1908-1933"
Belanda memaksa agar tulisan pada prasasti diganti dengan "Toegoe peringatan kemajoean ra'yat 1908-1933" atau tugu akan dibongkar dalam sebulan!
Maka, tercapailah kesepakatan bunyi prasasti tugu tersebut sementara tugunya sendiri, yang berbentuk lilin dengan api menyala di bagian atas, masih tetap bisa dipertahankan. Atas pendirian tugu itu, dr. Soetomo berucap ''Van Solo begin de vyctory'' yang artinya "Dari Solo kemenangan dimulai"
Peresmian tugu tersebut sebagai tugu Kebangkitan Nasional baru dilaksanakan tahun 1948, di saat Indonesia sudah merdeka namun masih banyak konflik internal antar golongan waktu itu.
Tanggal 20 Mei 1948 diperingatilah 40 tahun Hari Kebangunan Nasional (istilah sebelum Kebangkitan Nasional) yang pertama. Ketuanya adalah Ki Hajar Dewantara, anggota Tjugito dari PKI, AM Sangadji dari Masyumi, Sabilal Rasjad dari PNI, Nyonya A. Hilal dari Kongres Wanita Indonesia, Tatang Mahmud dari IPPI dan H. Benyamin dari GPII. Di Ibukota Yogyakarta Presiden Soekarno berkata dalam pidatonya “Republik Indonesia mencetus sebagai akibat pengorbanan dan perjuangan pemimpin-pemimpin dimasa lampau”. Di gedung tersebut para wakil partai-partai politik tampak bersatu dalam keakraban. Hal ini tentu sangat diharapkan mengingat Belanda masih membayang-bayangi Indonesia saat itu. Tampak pula tokoh-tokoh seperti dr. Radjiman Wediodinongrat, Ki Hajar Dewantoro (ketua peringatan), AM Sangadji dan sebagainya.
Keesokan harinya, acara berpindah ke Solo. Solo saat itu berada dalam situasi yang penuh konflik, banyak pasukan Hijrah, Siliwangi, di Solo dan banyak pula partai serta golongan-golongan yang berbeda-beda pendapat di Solo. Di tengah-tengah suasana multikonflik tersebut, diresmikanlah "Tugu Peringatan Kebangunan Nasional". Setelah itu, pasukan-pasukan Hijrah di Solo dan sekitarnya beserta partai-partai politik yang saling bertengkar berpawai keliling Solo bersama.
Tugu Peringatan Kebangunan Nasional sekarang menjadi "Tugu Kebagkitan Nasional Peringatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia 25 Tahun-20 Mei 2908-1933". Masyarakat Solo lebih sering menyebutnya "Tugu Lilin".